“Ka, gue takut. Gue pengen pulang. Sekarang!”
“Tika, lu tenang dulu deh ya.. Kita semua juga pengen pulang. Lu
jangan kayak gini dong! Nambah panik kita semua kalau elunya kayak gini.”
Tidak ada yang bisa menahan tangisan Tika. Bahkan Barka, pacarnya
sendiri terlihat kesal karena rengekan Tika yang tiada henti meminta pulang.
Semua gemetaran, semua kedingininan, semua tegang. Tidur di mushola
kecil, kotor, dan penuh dengan jejak kaki anjing itu ternyata tidak lebih baik
dari tidur di tenda walau harus bergelut dengan hujan yang mengguyur deras.
Dari tangan ke tangan, semoga bisa sedikit memberi kehangatan dan ketenangan
pada malam hari itu, malam Jumat Kliwon.
Runi sebagai orang yang disebut pemimpin perjalanan diminta untuk
mencari tahu siapa sebenarnya sosok itu. Manusia kah? Atau manusia jadi-jadian?
Atau malah semuanya sedang dibuat berhalusinasi oleh alam? Dengan berbisik dari
telinga ke telinga, akhirnya semua memilih Willy yang akan menemani Runi keluar
mencari tahu.
Dengan perasaan tak karuan karena diliputi rasa takut, Runi dan
Willy permisi pada sosok itu. Dan sosok itu hanya berdehem dengan suaranya yang
berat, “ehmmm...” Runi dan Willy segera pergi, tanpa sempat memperhatikan sosok
itu.
Hujan semakin deras. Angin dan petir pun bersahutan. Mereka seperti
sedang mengejek. Mereka seperti sedang menertawakan Runi dan Willy yang hanya
bercahayakan lilin dan mempunyai sedikit keberanian.
Runi dan Willy berjalan dalam gelap. Cahaya senter yang mereka bawa
tidak cukup bisa melawan kelamnya malam. Derasnya hujan membawa cahaya senter
mereka pergi. Derasnya hujan pun menembus jas hujan yang mereka pakai. Jalanan
yang licin, berbatu dan berlumut, serta guyuran hujan memperlambat langkah mereka
menuju warung yang sekaligus rumah bagi pemiliknya. Berjalan turun 500 meter
saja seperti sedang berjalan naik berkilo-kilo meter. Terasa lama dan payah.
--o--
“Ehmmm.... Kalian jangan berani macam-macam di sini. Apalagi berani
macam-macam dengan saya. Saya ini bukan manusia. Tinggi saya tujuh meter. Saya
tidak akan segan-segan menceburkan kalian ke dalam aliran curug jika
kalian berniat buruk. Saya juga tidak akan segan-segan membunuh kalian jika
kalian tidak memercayai kata-kata saya ini. Bahkan kalau kalian tidak percaya,
silahkan buktikan saja. Hahahaha....”
Tertawanya bak di film-film horor ketika dukun sedang beraksi.
Suaranya berat namun dapat menelan suara-suara sekitarnya. Suaranya seolah tak
terkalahkan. Sekali pun enam orang siswa-siswi SMA di mushola itu berteriak,
suara sosok itu pasti akan lebih keras mencabik-cabik mereka. Mereka hanya bisa
diam sambil memegang jantung masing-masing. Syukurlah jika jantung mereka masih
berada di tempatnya...
Entah kapan datangnya sosok itu. Diantara mereka tidak ada yang
menyadarinya. Tiba-tiba saja sosok itu ada di tengah-tengah mereka yang baru
saja akan tertidur lelap. Mulanya Runi memang kaget. Tapi Runi pikir paling itu
penduduk sekitar yang sedang berkeliling area curug, kehujanan, dan
berteduh di mushola, sama seperti Runi dan teman-temannya. Namun ketika sosok
itu mulai tertawa dan meracau segala hal, baru semuanya terbangun dan
sepenuhnya tersadar. Sosok itu terus meracau. Kadang nada bicaranya turun
sampai tak terdengar. Tapi kebanyakan nada bicaranya tinggi seperti sedang
menghantui.
“Dulu saya pernah mendorong muda-mudi yang datang ke curug. Saya
tahu niat mereka buruk. Mereka melecehkan apa yang saya katakan. Mereka tidak
percaya segala hal tentang Curug ini. Tengah malam, mereka ingin
membuktikan kebenarannya. Aaahhh.... anak-anak muda seperti itu tidak tahu
diuntung! Saya bunuh saja mereka, dua-duanya. Hahahaaa....”
Sosok itu seperti tahu apa yang mereka pikirkan. Semakin mereka ketakutan,
sosok itu semakin meracau tak tahu arah. Pun ketika terlintas di pikiran Runi...
Bagaimana bisa tinggi aslinya tujuh meter? Kapan dia berubah menjadi wujud
aslinya?
“Saya tidak main-main dengan perkataan saya. Bahkan wujud lain saya
adalah harimau. Saya berteman dengan Ratu Penguasa Pangandaran dan Dewi Sri.
Kalian tahu Dewi Sri? Dia pemilik semua nasi yang kalian makan!” sentaknya
membuyarkan pikiran Runi.
Mungkin sosok itu manusia jadi-jadian. Ah, tidak. Mungkin sosok itu
sedang kerasukan makhluk lain.
Barka terus merapalkan semua doa yang ia bisa. Tika terus menangis.
Awan mencoba mencairkan suasana dengan berusaha masuk dalam obrolan sosok itu.
Runi dan Willy akan mencari sebait kalimat dari penduduk yang dapat menenangkan
mereka. Sedangkan Ria, Yodha, dan Lita tetap dalam posisi mereka dengan gemetar
ketakutan.
--o--
“Wil, sepertinya kita tersesat. Perasaan gak sejauh ini deh jarak
dari mushola ke warung penduduk.”
“Kamu juga ngerasa gitu, Ni? Aku kira aku yang terlalu ketakutan,
sampai jalan ke warung aja kerasa jauh banget.”
Runi dan Willy saling menangkap raut kekhawatiran di wajah
masing-masing. Tersirat tanda tanya besar di wajah mereka. Namun siapa yang
bisa menjawab pertanyaan mereka? Selain angin yang terus berhembus kencang dan
penguasa kegelapan yang mempermainkan.
“Lalu sekarang kita harus kemana? Balik ke mushola atau lanjut ke
warung?”
Willy menyibakkan lengan jas hujan untuk melihat jam tangan. Senter
yang kian redup cahayanya ia arahkan ke jam tangannya.
“Parah! Sejam lebih kita jalan, warungnya belum kelihatan juga. aku
gak yakin kita bakal nemuin warung-warung penduduk itu, Ni. Lebih baik kita
balik aja. Kasihan teman-teman lama menunggu kita.”
Runi dan Willy balik badan putar haluan. Mereka kembali menyusuri
jalan yang tadi telah dilewati. Mereka kembali bertarung melawan dingin dan
ketakutan. Mereka terus berjalan, bahkan setengah berlari. Niat hati ingin
cepat sampai di mushola untuk kembali berkumpul bersama teman-teman.
Kenyataannya.... Sesampainya di mushola, tak ada seorang pun di sana! Sosok itu
pun tidak ada! Kemana perginya Awan, Ria, Lita, Yodha, Tika, dan Barka?
--o--
“Gue gak mau matiiiii!! Tolongin gueee! Gue gak mau mati! Please
jangan bunuh gue! Gue masih mau hidup. Gue gak mau matiiii!!!!!! Gue
takuuut!”
Jeritan Lita menciptakan lolongan panjang. Tangisan yang
menyelimuti lolongan itu membuat suaranya semakin lama terdengar semakin parau.
Hingga teriakannya sama sekali tidak terdengar lagi. Lenyap diguyur derasnya
hujan. Hilang bersama angin yang bertiup semakin kencang.
“Ha..Ha..Ha... Dengan jasad dan darah segarmu, aku akan hidup lebih
lama lagi. Ha..Ha..Ha.... Kau bukan manusia baik, kau selalu berniat buruk, sama
sepertiku. Lebih baik aku meminum darahmu, lalu kita akan bersatu.
Ha..Ha..Ha...”
Tangannya menggenggam sebongkah batu. Sambil terus tertawa
mengerikan.
--o--
“Litaaa.....”
“Litaaaa.....!!”
“Lita, lu dimana?”
“Litaaa!”
“Lit, lu jangan tinggalin guee! Lu dimana, Lit??”
Tidak ada siapa-siapa lagi di tengah hutan selain mereka berlima.
Kecuali sebongkah batu yang berlumuran darah dan tetesan darah di sepanjang
jalan setapak. Lalu tetesan darah itu menghilang di tepian sungai yang menjadi
tempat mengalirnya air curug.
by. si Famysa, nostalgia :)
Ini fiksi apa beneran? koq serem :/
BalasHapussedikit beneran mba. haha
Hapusjiah ... masih pengen lanjutannya eh udah selesai. saya lagi nulis cerpen disela-sela jam kerja, ntar kalau dah diposting, silahkan dikomentari yaa :)
BalasHapusudah buntu mau lanjutin ceritanya gimana lagi. hehe
Hapussiaap bang ;)