Tak terasa
sudah 17 tahun kita bersama ya, Pa.. Padahal rasanya baru kemarin Papa melamar
Mama. Lalu kita menikah, mengontrak rumah ke sana - ke mari, merintis usaha,
hingga sekarang ada tiga bidadari kecil di sekitar kita, Kak Nur, Kak Shofa,
dan Dek Putri.
Waktu awal
menikah, Mama agak merasa sedikit useless gara-gara Papa yang kerajinan.
Urusan beres-beres rumah, Papa baweeel banget. Ada debu sedikit saja yang
ketinggalan, Papa membersihkan ulang. Sampai bagian atas lemari yang gak pernah
Mama sentuh pun Papa bersihkan. Hari Minggu, waktunya bersantai, Papa malah
bangun lebih pagi untuk merawat tanaman dan beres-beres rumah. Padahal Mama
saja masih ingin tidur, Pa. Papa ini sebenarnya nahkoda atau office boy sih?
Hehehe...
Pa, tahu gak...
Anak jaman sekarang pacaran LDR sama anak kecamatan sebelah saja galaunya
ampun-ampunan. Lha kita, 17 tahun menikah LDR-an terus ya, Pa. Papa di
laut A sampai Z, Mama di darat, masih setia dengan Indonesia. Waktu kita
berjauhan lebih lama dari waktu kita berdekatan. Papa perginya setahun,
pulangnya tiga bulan doang.
Pa, walaupun
watak kita sangat berbeda, tapi justru itu yang membuat Mama makin cinta sama
Papa. Ternyata memang ada orang seperti Papa ya. Hidup tanpa cita-cita, tanpa
ambisi. Apa yang dijalani itu lah yang akan menjadi cita-citanya. Mengalir
bagai air, tanpa tahu akan bermuara dimana. Tidak usah terlalu pusing dengan
urusan besok, yang penting hari ini tetap berusaha dan bersyuk ur.
Mama ambisius,
Papa santai. Mama agak pelit, Papa lebih royal. Mama kadang judes, Papa baiknya
baik banget. Mama punya banyak cita-cita, Papa justru gak tahu cita-cita Papa
apa, yang penting lakukan saja yang ada ya, Pa. Unik ya, kita sangat berbeda. Tapi
perbedaan itu justru membuat kita bisa saling menguatkan. Mama merasa sempurna
karena ada Papa. Subhanallah... Hanya Kuasa Allah yang sanggup mempersatukan
kita.
Papa pernah
cerita pada Mama, Papa tidak pernah membayangkan apalagi mencita-citakan Papa
kelak akan menjadi nahkoda, berlayar ke mancanegara, meninggalkan anak dan
istri, mempunyai penghasilan berkecukupan. Tapi pada kenyataannya sekarang Papa
justru sangat mencintai pekerjaan Papa. Mama dan anak-anak bangga pada Papa,
kita punya kapten yang gagah berani nan baik hati.
Ingat gak, Pa,
dua tahun yang lalu, Papa bilang begini, “Papa capek, Ma. Papa di rumah saja
ya.. Gak usah pergi berlayar lagi.”
Papa soleh... yang
sabar ya, Pa... Usaha kita kan baru berdiri, belum cukup berkembang. Nanti
kalau sudah berkembang, baru kita bisa menikmati hasilnya dengan diam di rumah,
tanpa Papa harus capek cari modal lagi. Sekarang mah hasilnya masih
mepet buat sehari-hari dan sekolah anak saja, Pa.. Belum ada tabungan untuk
menjamin kita ke depannya.
Sekarang Mama
tahu Papa capek. Tapi bukannya Papa sangat cinta pada pekerjaan Papa ya?
Buktinya, selama ini Papa sanggup jauh dari Mama dan anak-anak demi loyalitas
pada pekerjaan. Kenapa gak Papa pertahankan rasa cinta itu, Pa? Nanti, kalau
usaha kita sudah maju, kita bakal punya banyak waktu untuk bersama. Sekarang
Papa percayakan saja pada Mama, Mama pasti bisa menjaga modal dari hasil kerja
keras Papa. Papa juga pasti bisa semangat dan betah kerja lagi. Iya kan, Papa
soleh? J
Pa, soal si
sulung, Kak Nur, Mama mohon ikhlaskan dia tinggal di pesantren. Kalau pun Papa
mau Kak Nur ditarik dari pesantren dan disekolahkan di dekat rumah saja, boleh...
Mama juga senang bisa kumpul terus sama anak-anak. Mama juga kan sebenarnya
sedih, Pa lihat Kak Nur nangis terus minta pulang dari pesantren. Tapi ada
syaratnya. Papa tinggal di sini! Bantu Mama mendidik anak-anak. Mama jujur, Pa,
Mama angkat tangan kalau harus mendidik mereka sendiri. Mama sadar kalau Mama
ini orangnya gak sabaran, gak kayak Papa. Mama bukan ibu yang cukup pintar yang
bisa ngajarin anak-anak kalau ada PR sekolah. Mama juga baru mulai serius ngaji
kemarin kan, Pa. Mama gak pede mendidik mereka seorang diri. Makanya Mama milih
lebih baik Kak Nur pesantren saja. Biar adik-adiknya juga bisa nyontoh
kakaknya. Papa yang sabar... Jangan cengeng gitu gara-gara lihat anaknya gak betah
di pesantren.
Pa, Mama masih
ingat betul kata-kata Papa dulu, sebelum kita berangkat ibadah haji. Mama juga
masih ingat kelakukan Papa yang aneh. Papa memang selalu ke masjid setiap waktu
shalat tiba. Tapi bukan Papa kalau tidak langsung pulang setelah selesai
shalat. Mama kira Papa berlama-lama di masjid untuk beribadah. Ternyata Papa
hanya menangis di sana. Setiap hari, setiap waktu, Papa menghabiskan waktu
dengan menangis. Sampai hati Mama ini pilu melihat tangisanmu, Pa.. Padahal
biasanya setiap Papa pulang Papa pasti menghabiskan waktu dengan anak-anak. Biasanya
waktu pulang jadi hiburan buat Papa. Papa sendiri yang bilang gitu kan. Kata
Papa, pulang itu... Papa bisa ketemu Mama, ketemu anak-anak, liburan bareng,
belanja bareng, nonton film, makan, semuanya selalu bisa kita lakukan berlima.
“Ma, Papa
pengen nikah lagi. Sama yang masih gadis, yang langsing, yang cantik,” begitu
katamu dulu, Pa. Mama bakal selalu ingat kata-kata Papa itu.
Papa tahu
gimana perasaan Mama waktu Papa berkata seperti itu sambil terntunduk dan
menangis? Mama seperti sedang menghadapi rengekan Dek Putri yang sedang demam
tapi keukeuh minta eskrim. Bahkan lebih dari itu. Hati Mama sakit sekali
rasanya, Pa. Langit seperti rubuh di hadapan Mama sendiri.
Papa sayang...
Maafkan Mama ya, Pa... Mungkin selama ini Mama memang kurang merawat diri. Mama
kurang perhatian sama Papa yang berada jauh dari Mama. Mama sekarang gendut dan
jauh sekali dari kesan modis seperti ibu-ibu tetangga. Mungkin Mama terlalu
asyik sendiri. Papa kerja jauh, Mama jadi lupa kalau Mama harus mempercantik
diri.
Papa yang sabar
ya... Sekarang biarkan cukup Mama saja yang menjadi gadis itu. Siapapun gadis
yang berada dalam bayangan Papa, ijinkan Mama untuk berusaha menjadi sosok itu.
Papa yang sabar... kalau memang Papa berjodoh dengan gadis, mungkin nanti Mama
yang meninggal duluan. Terus Papa bisa nikah lagi dengan gadis deh. Gak usah
maksa buat poligami, Pa. Meskipun itu halal, tapi hati Mama gak siap menerima
kehadiran orang lain selain Mama yang menemani Papa. Mama gak sekuat Teh Ninih
yang rela suaminya menikah lagi dengan wanita yang lebih cantik darinya.
Biar bagaimana
pun, Mama bahagia hidup sama Papa. Papa tenang saja, walaupun kita berjauhan,
Mama gak akan pernah berhenti cinta sama Papa. Mama gak akan pernah bosan sama
Papa. Kalau Papa bosan sama Mama, terserah Papa, yang penting Mama gak akan
pernah bosan sama Papa. Mau Papa ubanan, gendut, kurus, hitam, atau apapun,
Mama gak akan bosan, Pa.
Berbagai
masalah yang lewat silih berganti selama 17 tahun ini, Mama selalu yakin kita
akan bisa melaluinya dengan selamat. Karena Mama gak sendiri. Ada Papa, kaptenku,
imamku yang paling soleh. Ada Kak Nur, Kak Shofa, dan Dek Putri,
bidadari-bidadari kecil kita. Dan tentunya karena ada Allah, Sang Maha
Pembolak-balik Hati, Dia Yang Kuasa yang mengijinkan Mama hidup dengan suami
sesoleh Papa.
Pa, ijinkan Mama berbakti pada Papa sampai Mama menutup
mata... Hanya Mama....
postingan ini adalah tulisanku yang dimuat di antologi Dear Suamiku - Diva Press dengan nama @famysa_ |
by. si Famysa...
Duh .... sedih ya.
BalasHapusKisah siapa Syifa?
kisah bibiku, tante :)
Hapus