Benar kata orang, penyesalan selalu datang di akhir. Penyesalan
seperti tokoh hero yang selalu muncul
di episode-epidose terakhir. Bedanya, tokoh hero
datang di akhir untuk menumpas kejahatan, sedangkan penyesalan datang di akhir
untuk memberi pelajaran. Dan seringnya pelajaran dari penyesalan itu disertai
rasa sakit. Seperti yang kurasakan saat ini. Sesal dan sakit.
Apapun yang kulakukan, dimana pun, kapan pun, ingatan tentangnya
kerap kali muncul. Bahkan segala benda dan manusia yang kulihat selalu bisa
mengingatkanku padanya. Segala hal tentangnya, mengapa begitu jelas sekarang? Segala
hal tentangnya mengapa justru selalu mengikuti ketika sosoknya sudah tak bisa
lagi kugapai?
Beberapa pasang muda-mudi berlalu-lalang di hadapanku. Dari yang
muda hingga yang tua. Sekelompok siswa SMP yang terdiri dari empat orang
laki-laki, di tengahnya terselip seorang perempuan. Dia yang paling
cantik, karena dia perempuan
satu-satunya di kelompok itu. Sepasang siswa dan siswi SMA sedang mengobrol
malu-malu di bangku taman sebelahku. Mungkin mereka sepasang kekasih yang baru
jadian. Atau mungkin mereka sedang dalam tahap pedekate. Ada juga sepasang
muda-mudi di bangku taman tepat di depanku yang sedang asyik menyantap eskrim cone. Mereka terlihat akrab sekali.
Mungkin mereka masih kuliah. Yang jelas sepertinya mereka sudah bukan anak
sekolahan lagi. Atau mungkin juga mereka sudah menikah. Jika iya, sungguh
pasangan muda yang menyenangkan dipandang mata.
Bersantai di taman kota rupanya bukan keputusan yang cukup tepat
untuk menghilangkan rasa sakit. Hatiku malah makin teriris. Segala pemandangan
yang kulihat ada saja yang bisa memunculkan ingatanku tentangnya. Kuputuskan untuk pergi sesegera mungkin dari taman kota.
“Apa yang harus kulakukan sekarang pada hubungan kita?”
“Nggak ada. Aku cuma lagi ingin sendiri. Terserah kamu
sekarang mau gimana. Pokoknya aku cuma lagi ingin sendiri. Tinggalin aku.”
“Tapi kamu mau aku nungguin kamu kan?”
“Nggak! Kamu boleh punya pacar lagi kalau memang kamu
mau. Kecuali yaa kalau nanti aku sudah siap, dan kamu masih sendiri, aku mungkin
bakal balik lagi sama kamu,” tegasku mantap. Menutup obrolan kita yang semakin
memanas.
Lalu untuk yang ke sekian kalinya, dia mengatakan bahwa
aku jahat, dan aku menyetujuinya. Iya, aku memang jahat. Termasuk jahat pada
diriku sendiri, yang bodohnya baru kusadari saat ini.
Pertengkaran hari itu, pertengkaran yang selalu dibumbui
oleh tangisannya, pertengkaran yang ternyata membawaku pada ruang sesal ini.
Bahkan kini aku rindu menyeka air matanya dengan jari-jemariku, aku rindu
memberinya sehelai tisu, aku rindu mengusap pipinya yang masih dibanjiri air
mata. Padahal aku selalu inginkan dia. Namun kenyataannya waktu itu aku sama
sekali tidak peduli pada tangisannya yang merajuk. Kenapa aku diam? Kenapa aku
malas mendengarkan dan menatapnya? Kenapa aku justru menutup telingaku dan
berpura-pura tertidur?
Sesal yang kukira tidak akan pernah menghinggapi
hari-hariku kini justru paling menyita emosiku. Sesal yang kukira akan cepat
berlalu seperti aku yang dulu mudah berlalu darinya kini justru semakin dekat
dan melekat. Sesal ini memaksaku untuk membenci diriku sendiri.
--o--
Jalanan hari ini begitu lengang, senyap, dan sepi. Tidak
seperti biasanya. Padat dan terkesan menegangkan karena mobilitas tinggi
penduduknya. Kini hanya ada satu-dua orang saja yang lewat. Kemana perginya
orang-orang? Ah, apakah mungkin aku saja yang tidak memperhatikan sekitar. Aku
terlalu lama jalan sambil menunduk. Seperti pengemis yang sedang mencari-cari
recehan, mungkin saja aku bisa menemukan recehan di sepanjang jalan yang
kupijak. Ya, semoga recehan itu ada.
Pantas saja jalanan ini ditinggalkan oleh penggemar
setianya. Angin di awal bulan Januari terlalu menusuk. Belum lagi rintik-rintik
yang dihasilkan oleh awan yang menangis. Kemarilah... Temani aku menempuh
perjalanan ini. Setidaknya sampai aku tiba di rumah dan dapat terpejam. Ini
yang dulu biasa dilakukan olehnya. Bersembunyi dalam rintik hujan untuk
menyembunyikan hujan lain di wajahnya. Tangisnya. Diam-diam aku merasakan apa
yang mungkin dulu dia rasakan. Hangat. Namun perih.
“Kamu benar-benar gak mau aku nungguin kamu?”
“Harus berapa kali lagi aku bilang, gak usah! Aku belum
mau menikah. Aku masih ingin sendiri. Tanpa kamu, tanpa perempuan manapun.”
“Iya, aku ngerti. Aku bisa nungguin kamu... Sampai kamu
siap menikah. Aku mau kita bareng-bareng lagi kayak dulu. Gak usah bahas
pernikahan. Tunda dulu obrolan tentang nikah sampai nanti, sampai kamu mau
membahasnya.”
“Percuma. Aku gak cinta lagi sama kamu.”
Kata-kata pemungkas itu yang menghadirkan sesal hingga
kini. Aku keliru. Aku berbohong besar pada diriku sendiri. Egoku waktu itu
sanggup menyembunyikan rasa hatiku yang terdalam. Bodohnya lagi, kenapa aku
membiarkan ego itu tetap ada. Seolah justru aku lah yang menghadirkan dan
memelihara ego itu. Lalu membakar, membakar, dan menghanguskan kehadirannya.
Lebih baik kerasnya hidup kemarin bersamanya. Daripada
hidup tanpa tantangan seperti yang sedang kujalani saat ini. Tidak ada dia,
tidak ada tujuan. Aku terus berjalan tanpa tahu kapan saatnya aku harus
beristirahat, berhenti, atau berlari. Bak layang-layang putus, terhempas ke
sana-sini oleh angin, tanpa bisa menolak, tanpa ada keinginan untuk menolak.
Oh, selinglung itu kah aku?
Duduk di bangku taman kota, berjalan sendirian,
menghujani diri sendiri dengan tangisan awan, semuanya bukan ide yang tepat
kurasa. Aku semakin merasakan kehadirannya begitu berarti untukku. Aku semakin
merasakan ngilu karena kehilangan ketika aku sadar bahwa dia yang berarti tidak
lagi ada di sisiku.
“Kita akan baik-baik saja dengan belajar mengerti satu
sama lain. Bukan saling menuntut, tapi saling memberi yang terbaik. Aku yakin
kamu punya banyak kejutan untuk membahagiakan aku. Aku sayang kamu, dan kamu
beruntung. Kamu tahu... Ini semua untukmu. Bahkan aku hidup juga untukmu.”
Hanya kata-katanya dulu yang terngiang-ngiang dalam
rekaman ingatan. Rekaman ingatan yang memaksaku untuk selalu memutar ulang. Replay,
replay, replay. Padahal itu hanya rekaman. Dan aku tahu bahwa setiap
rekaman tidak akan bisa terulang kembali dalam kehidupan nyata. Andai saja
kata-kata itu terucap sekarang...
Aku yang salah. Aku yang bodoh. Aku menyia-nyiakannya.
Sialnya sesal ini kenapa harus muncul semakin kuat. Setiap aku mencoba menepis
ingatan tentangnya, setiap kali itu juga sesal ini menyeruak semakin kuat.
--o--
Bus Trans Jakarta sore ini sama seperti kemarin, sama
seperti saat sebelum ada dia, saat ada dia, dan saat dia kulepaskan. Selalu
penuh berjejalan manusia. Ah, ternyata memang tadi selama berjalan kaki aku
saja yang sedang kacau. Mungkin banyak manusia yang berlalu-lalang di
sekitarku. Akunya saja yang sedang kacau. Saking kacaunya benang kusut pun
kalah olehku.
Lalu biasanya aku akan selalu mengeluh padanya ketika
sudah sampai di rumah. Keluhan merajuk agar tangan dan kakiku dipijiti sebelum
dia pulang ke rumahnya yang berada di kanan depan rumahku. Kali ini semua
berbeda. Rumah di kanan depan rumahku, aku sudah tidak mengenalnya. Rumah itu
kini terlihat sepi. Pintu rumah yang dulu sering terbuka kini selalu tertutup. Tidak
ada lagi sosoknya. Aku benar-benar telah kehilangan.
--o--
Klik. Halaman yang kusimpan ini telah menjadikanku candu.
Setiap kali membukanya, membaca kalimat demi kalimatnya, hati ini semakin
perih. Namun tangan tak sanggup untuk menghapusnya. Pun jika dihapus, aku pasti
akan membuka dan membacanya lagi, langsung dari buku harian digitalnya yang dia
sebut blog.
“Aku bingung dengan hubungan kita. Bersama, saling
menyakiti. Berpisah, tetap akan tersakiti. Bukan kamu yang membuatku bingung.
Tapi cinta lah yang membingungkanku. Kita harus memperlakukan cinta seperti apa
dan bagaimana? Beritahu aku. Kalau saja cinta bisa memilih, aku pasti tidak
akan memilih kamu. cinta memainkan hati, bukan otak. Cinta datang begitu saja,
bahkan tanpa kita sadari. Kupikir kita bisa saling melengkapi. Tapi kadang ego
kita muncul berbarengan. Tidak ada yang mau mengalah walau sudah diberi jalan
keluar lain. Aku egois, kamu pun tak kalah egois.”
Aku selalu terhenti di kalimat itu. Dia benar, nyatanya
sekarang aku tersakiti, mungkin dia juga sama. Bukan dia yang egois, tetapi
aku. Bahkan ketika dia rela menungguku, dengan sombongnya aku menolaknya.
Rasakan akibatnya sekarang! Sesal yang tiada berujung.
“Kamu sayang aku. Aku butuh kamu. tapi cinta membuat kita
tak bisa jadi satu. Selalu saja ada beda. Beda itu mencuat, begitu tajam. Aku
khawatir. Aku butuh kamu. Kamu sayang aku kan? Tolong tetap bersamaku. Perkuat
yakin kita dengan selalu bersama, tanpa ada jalan pintas lain.”
Melepasnya tidak semudah yang kubayangkan dulu. Sesal
semakin menjerat ketika tahu betapa tidak pedulinya aku padanya dulu. Sesal
terus datang berbarengan dengan bayangannya. Kulihat dia yang mengucap maaf.
Kulihat dia yang mengucap terima kasih. Kulihat dia yang berjalan menjauh
dariku setelah menjabat tanganku dengan penuh getar yang dibuat tegar. Kulihat
dia yang diam-diam menitikkan air mata. Kulihat dia yang berjalan beriringan
dengan laki-laki yang kutahu mencintainya dengan segenap hati, berbalut gaun
putih layaknya putri kerajaan. Tidak sepertiku. Aku mencintainya hanya dalam
rasa, tanpa menunjukkannya, tanpa mempertahankannya. Ketika aku kehilangan,
hanya ada sesal yang menjalar.
Ah, rumah di kanan depan rumahku tidak menyimpan sosok
nyatanya lagi. Di sana sepi, sama seperti di sini, di dalam hatiku.
Aku merindukannya.
by. si Famysa, lagi ubek-ubek tulisan lama :P
GALAAUUUU :p
BalasHapusiya nih. haha :D
Hapus