Tahu kan bullying
itu apa? Itu looh semacam perlakuan kasar, kejam, perlakuan tak enak,
hinaan, cacian, dan semacamnya yang dilakukan oleh satu orang atau lebih pada
satu orang atau lebih lainnya. Sebut saja orang yang suka melakukan bullying itu pembully. Biasanya para pembully
itu membully dengan tujuan agar
targetnya merasa tertekan, merasa kecil, dan merasa tidak berdaya. Entah itu
disadari atau tidak oleh para pembully, tapi
pasti deh ada walaupun sedikit niatan itu di benak para pembully. Biasanya juga para pembully
doyan banget membully targetnya
karena target tidak melakukan perlawanan apapun. Targetnya nrimo bahkan pasrah dibully dalam
bentuk apapun oleh pembully walau
dalam hatinya tidak berkenan.
Siapa di sini yang pernah menjadi korban bullying?
Aku mau ikutan jawab ahh… Aku ngacung nih...
Ya, aku pernah menjadi korban bullying selama hampir 5 tahun. Dari kelas 1 sampai kelas 5 SD. Wow
banget kan?! :P Dan sebagian besar teman-teman yang kuceritakan mengenai
pengalamanku dibully tidak percaya
bahwa aku pernah dibully, apalagi
selama itu. Haha… Kata teman-teman, “Masa sih Syifa yang strong begini dulunya korban bully?
Berarti dulunya lemah banget dong. Aku gak percaya kayaknya. :P”
Tapi yaa begitulah kenyataannya. Aku memang pernah
menjadi korban bullying. Pembullyku 2 orang, mereka adalah
tetanggaku, teman sekampungku, teman sekelasku, mereka perempuan sama seperti aku. Aku lupa kapan pertama kali
mereka membullyku. Seingatku sih,
waktu pertama kali aku pindah ke kampung ini (tadinya aku tinggal di kampung
sebelah, maklum pindah-pindah kontrakan) mereka baik-baik saja padaku. Mereka menyapaku
dan berteman baik denganku. Aku juga tidak tahu apa yang memotivasi mereka
untuk membullyku. Apa karena aku
terlihat lemah ya dulu? Hoho..
Bagaimana bentuk bullying yang aku terima?
Pertama. Selama 5 tahun itu, dari kelas 1 sampai
kelas 5 SD, aku harus memberikan mereka contekan pekerjaan sekolah, pekerjaan
rumah, sampai ulangan harian dan ulangan semesteran. Oh, aku juga harus
membantu mereka mengerjakan tugas prakarya, seperti menggambar, kesenian, dan
semacamnya. Bahkan tidak jarang juga mereka mengambil hasil karyaku begitu saja
untuk mereka kumpulkan. Bukan itu saja, mereka juga merasa memiliki
barang-barangku seperti pensil warna, buku cerita, dll. Mereka mengamcamku akan
melakukan ini-itu jika aku sampai melapor pada orang tuaku. Bodohnya aku waktu
itu, aku diam saja. Diancam oleh mereka, aku malah menurut, karena takut.
Kedua. Selama 5 tahun itu, dari kelas 1 sampai
kelas 5 SD, aku selalu dijadikan ‘penjaga’ atau ‘kucing’ di setiap permainan
apapun. Pokoknya peran babu deh. Misal kalau main loncat tali, aku paling hanya
diberi kesempatan sekali untuk main. Selebihnya, mereka bilang aku lebih baik
jaga saja (jadi yang pegang talinya) karena aku selalu kalah bermain. Atau kalau
main rumah-rumahan, aku selalu dijadikan pemain figuran bahkan pembantu oleh
mereka. Atau kalau main kucing jongkok (semacam permainan kejar-kejaran, si
kucing mencari mangsa yang jika kena maka mangsa itu yang menjadi kucing
berikutnya lalu mengejar mangsa lain), aku selalu dijadikan kucingnya. Kalaupun
aku memenangkan mangsa, tidak lama kemudian aku akan menjadi kucing lagi karena
mereka bekerja sama (merajuk teman-teman lain) untuk menjadikanku sebagai
kucing lagi. Makanya aku lebih memilih untuk pura-pura tidur jika sepulang
sekolah mereka mengajakku bermain. Sedih kan? :’))
Ketiga. Selama 5 tahun itu, dari kelas 1 sampai
kelas 5 SD, aku bukan hanya menjadi babu dalam permainan, tapi juga dalam
kenyataan. Ya, aku menjadi jongos mereka. Botol minum, tempat makan, bahkan tas
mereka tidak jarang aku yang membawakannya. Aku waktu itu selalu jalan di
belakang mereka dengan membawa banyak barang. Barang-barangnya mereka. Tidak tahu
deh kenapa dulu aku sepenurut dan selemah itu. :’)
Keempat. Selama 5 tahun itu, dari kelas 1 sampai
kelas 5 SD, aku harus memberikan uang jajanku pada mereka. Padahal uang jajan
mereka jauh lebih besar dariku. Waktu itu aku hanya diberi uang jajan Rp 200. Sedangkan
mereka sudah mengantongi uang jajan Rp 500. Uang jajanku Rp 200 itu mereka ambil,
masing-masing mengambil Rp 100. Lha aku
jajan dari mana? Aku hanya jajan dari sedikit jajanan yang mereka berikan
padaku. Bahkan seringnya aku tidak diberi. Padahal mereka jajan pakai uangku :’).
Lama-lama, akhirnya kuputuskan untuk sekalian tidak meminta uang jajan saja pada
mamah. Karena pada waktu itu memang kondisi ekonomi keluarga sedang berada di
bawah. Untuk uang jajanku Rp 200 saja kadang terasa berat.
Kelima. Selama 5 tahun itu, dari kelas 1 sampai
kelas 5 SD, aku selalu menjadi sasaran kemarahan mereka. Misal mereka sedang
marah atau kesal pada orang tua mereka, maka aku lah yang dibantai oleh mereka
dengan berbagai perkataan menyakitkan. Atau marah pada teman, atau pada
siapapun, aku pasti yang akan kena getahnya. Begitu pun kalau mereka dimarahi
oleh kakak kelas, aku juga yang akan mereka salahkan, dan aku yang akan mereka
omeli karena sudah pasti mereka tidak akan berani membalas kakak kelas.
Keenam. Selama 5 tahun itu, dari kelas 1 sampai
kelas 5 SD, tidak jarang mereka juga menyakiti fisikku. Kejadian terparah, yang
selalu aku ingat sampai detik ini, dan mungkin sampai kapanpun.. Waktu itu
hujan rintin-rintik, di perjalanan pulang sekolah, kami becek-becekan, nyeker. Aku yang membawakan sepatu dan
botol minum mereka. Lalu mereka berkata, “Kayaknya enak nih kalau kita pukul
kamu pakai kaos kaki. Pasti gak akan sakit kan ya? Apalagi ini kan sedang
hujan.” Mereka memaksaku untuk berkata ‘iya’. Dan mereka pun langsung
melancarkan aksi mereka. Satu kaos kaki mereka yang basah dimasukan ke satu
kaos kaki lainnya sehingga ada gumpalan di ujung. Lalu mereka memutar-mutarkan
kaos kaki itu ke udara dan memukulkannya ke pipiku. Berulang kali. Dan aku
hanya bisa diam. Aku hampir menangis, tapi mataku yang berkaca-kaca tersamarkan
oleh rintik hujan. Kadang jika mereka mengajakku bermain sepulang sekolah dan
mamahku berkata aku sedang tidur, mereka tetap masuk ke kamarku. Mereka menampar-nampar
pipiku sambil berkata “heh, bangun! Aku juga tahu kok kamu gak tidur. Ayo bangun!
Gak usah pura-pura lagi.”
Sakit kan bacanya?
Bayangkan bagaimana jika mamahku dulu tahu bahwa
mereka membullyku? Hati ibu mana yang
tidak akan hancur jika anaknya diperlakukan seburuk itu.
Tapi aku memilih untuk tetap diam. Aku memilih
untuk tetap sabar. Hingga suatu hari, kesabaranku dihadiahi hal manis oleh
Alloh. Kira-kira di semester 2 kelas 5 SD, sahabat kecilku, yang sudah kuanggap
sebagai kakak sendiri, namanya Absori (ada foto aku dan Aab di postingan ini --Timeless; Friendship Never End--)
secara heroic memisahkanku dari kedua pembullyku
itu. Sebenarnya Aab sudah tahu dari dulu. Aab hanya baru menemukan waktu yang
tepat, dan keberaniannya baru terkumpul saat semester 2 kelas 5 itu. Aab dengan
tegas melarang mereka bermain denganku lagi. Sejak saat itu aku selalu bermain
dengan Aab dan teman-temannya, di sekolah maupun di luar sekolah. Terima kasih ya, Ab.. Moga calon bayinya Aab
seberani dan sebaik Aab nantinya :)
Waw, tidak terasa ceritanya panjang juga ya. Hehehe…
Mau tahu kisah selanjutnya? Nantikan besok yaa…
Hari ini segini dulu. *sengaja biar besok teman-teman mampir ke sini lagi. Hahaa
:P
by. si Famysa, dulunya korban bullying :')
Haaa...?? Hampir 5 tahun Mbaak dibully sama teman SD-nya? Untungnya aku gak pernah ngerasain... tetapi para keponakanku pernah semua di-bully... Ada yg bisa diatasinya sendiri, ada yg mesti campur tangan ortu dan guru hingga temannya gak mem-bully lagi..
BalasHapusiya bunda :D dan ga ada campur tangan ortu atau guru sama sekali. hehe
HapusWow..
BalasHapuswhat a strong female
Aku juga pernah sih. pas SMP
tapi setahun aja
mulai dari dimintain duit jajan, dicekek, dipukul kalo gak ngasih, dll.
abis itu ketahuan sama ortu dan langsung dikasuin ke sekolah
anaknya kena hukum
kapok
gak berani bully lagi deh :')
hohoo kalo aku sih ga sampe bawa2 ortu :D
Hapusmereka ditegasin sama temen2ku yang baik juga udah keok :P
Kita sama deh, move on cara terbaiknya :)
BalasHapusiyaa emang :D
Hapus