Ada
lagi yang memanggilku 'teteh'. Aku pernah mengalaminya dulu. Sama persis. Ini
seperti sedang bernostalgia pada kehidupan 8 tahun yang lalu. Andai
bisa lebih lama dan perlahan... Apa ini?
Siapa dia? Aku ragu untuk meneruskan ide gila dengan masa laluku. Aku
rindu dia yang memanggilku 'teteh'.
Oh
dear... kamu benar-benar mengingatkanku padanya 8 tahun yang lalu. kamu
mendengar, kamu penyayang anak-anak, kamu mudah dekat dengan wanita, kamu
selalu membuatku cemburu. kamu itu dia....
Lalu,
apakah kamu memang seperti dia? jika iya, beruntung sekali wanitamu. Oh,
apakah wanitamu sepertiku juga? Mengapa kita sama?
Klik.
Kurasa cukup
untuk hari ini. Aku sudah tidak berminat menuliskan resah gelisahku lebih jauh
di catatan harian digitalku yang bernama blog. Benda ajaib yang tak bisa diraba
itu lah yang menyimpan segala isi hatiku, bak tempat sampah. Ia selalu
mendengar dengan khidmat. Namun tidak pernah ada respon. Ah.. Mungkin itu lebih
baik daripada bercerita pada benda bernama manusia yang jago merespon, namun
juga jago bermulut besar. Hari ini bercerita ke satu orang, esok hari seluruh
dunia bisa tahu. Blogku jauh lebih baik sepertinya. Hanya sepertinya.
--o--
Oh, hey,
Dung... Kamu masih ingat beberapa waktu yang lalu aku pernah bilang kalau aku
sedang jatuh cinta pada sosok yang mirip kamu? Kamu salah jika kamu mengira aku
sedang bercanda. Kamu juga salah jika kamu mengira aku sengaja mengarang cerita
untuk membuatmu cemburu. Aku memang sedang jatuh cinta lagi padanya, Dung. Pada
orang lain yang mirip kamu. Sosoknya memang ada. Dan itu bukan kamu.
Kamu terlalu
jauh meninggalkanku. Sepertinya waktu tiga bulan cukup untukmu mengubur semua
kenangan tentangku. Tiga bulan berlalu tanpa kehadiranku mampu membuatmu lupa
pada cintamu padaku. Tidak ada lagi ucapan sayang, tidak ada lagi ucapan
kangen, tidak ada lagi rasa membutuhkan diriku. Semudah itukah?
Sedangkan aku
sebaliknya. Tiga bulan tanpa kehadiranmu justru membuatku semakin mencintaimu.
Segala upaya yang kulakukan pasti sambil mengingatmu. Tidak ada sedetik pun aku
melupakanmu, Dung. Bahkan sebelum aku tidur pun, namamu selalu terucap dalam
doaku. Semoga aku dan kamu dipertemukan dalam mimpi... Semoga kita bisa saling
menjaga cinta kita, menjaga hati kita masing-masing...
Ah, Dung,
maafkan aku. Aku juga yang salah. Aku terlalu munafik. Aku menangis menyalahkan
diriku sendiri. Kamu begitu karena kekeliruanku juga. Padahal aku tahu kamu
selalu ingin bersamaku. Maaf.
--o--
“Teh... Teteh... Teh Isah.. Aku mau
manggil kamu Teteh aja ya.. Teh Isah. Gak apa-apa kan?”
“Tetehnya
sih gak apa-apa. Tapi itu Isah-nya please deh, Ndi, norak banget. Nama
bagus-bagus Annisa kok jadi Isah.”
Namanya Andi
Satria Gunawan. Sama-sama mengandung awalan huruf “A”, dan “awan” di belakang
namanya, seperti kamu, Dung. Ardiansyah Hendrawan.
Aku sama sekali
tidak menyadari sejak kapan aku mulai menyukainya. Aku juga tidak mengerti, apa
alasan aku menyukainya. Rasa ini tiba-tiba datang setelah dua bulan aku
mengenalnya. Kurasa ini terlalu cepat. Ah, bukannya sama, padamu dulu juga aku
begini.
Aku benar-benar
seperti sedang bernostalgia, Dung. Nostalgia dengan bayangmu lewat sosok orang
lain. Mungkin aku hanya sedang amat merindukanmu. Mungkin. Namun kamu menjauh
dan terus menjauh, sengaja menjauh. Padahal selalu ada rasa rindu di sini.
Rindu yang tidak pernah berkurang kadarnya. Rindu yang terkadang sanggup
membuat aku dan kamu hidup.
Bayanganmu
berkelebatan dalam benda penting di kepalaku. Benda yang disebut otak. Benda
yang akan membuatku mati jika ia juga mati. Silih berganti, tidak hanya ada
bayanganmu. Tapi juga bayangannya. Muncul kamu yang pertama kali memanggilku “teteh”.
“Mulai sekarang aku mau manggil kamu teteh ya..” Lalu muncul dia
dalam sketsa yang sama. Memanggilku teteh.
--o--
“Kak, kakak
pacarnya Kak Andi ya?” tanya seorang bocah perempuan berpita pink di sebelah
kanan kepalanya seperti Hello Kitty, bocah itu anggota Klub Taman Pelangi
–sebuah klub baca anak-anak yang mempertemukanku dengannya-.
“Looh.. siapa
yang bilang, Dik? Bukan.. Kakak sama Kak Andi nggak pacaran. Pacarnya Kak Andi
kuliahnya jauh, di Jakarta.”
“Aah Kak Icha
bohong... Kalau gitu kayaknya Kak Andi suka deh sama Kakak. Sering banget Kak
Andi salah manggil nama kakak-kakak yang lain, manggilnya ‘Icha” terus. Terus
tatapannya Kak Andi sama Kakak itu loh Kaak... Hihihi,” bocah itu cekikikan.
Kali ini teman-temannya juga ikut cekikikan. Dasar bocah jaman sekarang, ngebully
orang yang lebih tua berani ya.
Entah terprogram
atau tidak, sejak mendengar perkataan bocah itu, hati ini juga ikut berkata
bahwa ia memang sedang jatuh hati. Terungkapkan atau tidak, hati ini tetap
merasakannya. Terlebih jika orang yang dijatuhi hatinya menebar umpan yang
sama, dan menelan umpan yang sama pula. Sama-sama mengumpan dan terumpan.
“Kamu boleh
memanggilku teteh, atau apapun yang kamu mau. Tapi jangan sampai
memanggil dengan panggilan itu di depan teman-temanku ya.. Kan malu nantinya.
Takut mereka jadi gosipin kita.”
“Iya, Teh. Siap,”
katamu dulu dalam sebuah sms pengantar tidur.
Dan dia seperti
mendengar permintaanku dalam sms padamu 8 tahun lalu. Seperti kamu yang berkata
‘siap’, namun dalam versi yang lebih dewasa, tanpa diperingatkan dia sudah
mengerti.
Adegan demi
adegan di setiap episodenya membuatku dejavu. Seolah aku pernah
memerankan peran ini sebelumnya. Dengan skenario yang sama, namun dengan lawan
main berbeda. Dengan judul yang hampir sama dengan drama kehidupan sebelumnya.
Hanya saja kali ini dipoles lebih apik dan menyenangkan dengan dihadirkannya
sosok nyata dan sosok bayang. Siapa yang nyata? Siapa yang bayang? Bahkan aku
tidak mengetahuinya.
--o--
Hatiku masih
terluka. Andai saja di apotek dijual obat untuk hati yang terluka, aku tentunya
adalah orang yang paling banyak membeli obat itu. Bukan karena sering terluka.
Tapi karena sekalinya terluka langsung dalam. Luka hatiku akut. Luka hatiku
sanggup menghentikan anggota organisasi dalam tubuhku untuk serempak tidak
kompak menjalankan perintahku. Kubilang “move ooon!!”, mereka menolak.
Kubilang “semangaaat!!”, mereka malah malas-malasan, mengajakku terus berbaring
dan meneteskan bulir-bulir lembut dari pelupuk mataku.
“Hey, Cha, kamu
salah kalau kamu mau curhat ke Andi. You know that you have something
special for him. Jangan main api lah, Cha. Kalau kamu butuh tempat berbagi
cowok untuk mengerti sudut pandang cowok, kamu kan bisa curhat pada teman
cowokmu yang lain. Dan bukan Andi. Tapi kalau kamu tetap keukeuh mau
curhat pada Andi, terserah. Aku sudah mengingatkan. Kita lihat saja nanti, Ardi
manakah yang akan menjadi partner hidupmu. Ardi asli, atau Andi yang kau
bilang mirip dengan Ardi.”
Berdengung
terus perkataan Riya dalam mimpi dan sadarku. Riya, sahabatku satu-satunya yang
kuceritakan tentang Andi. Riya, sahabatku satu-satunya yang mengerti perasaanku
padamu dan padanya. Riya benar. Tapi.... Aku tetap penasaran. Kupikir dengan
berbagi dengan Andi, aku bisa mendapat jawaban atas segala tanyaku. Karena Andi
dan Ardian sama. Karena kali ini hanya Andi yang bersedia kutumpahkan segala
keluh-kesahku. Karena hanya Andi yang sanggup menggantikan sosokmu.
Apakah ini yang
dinamakan selingkuh? Tapi aku tidak menjalin hubungan apa-apa dengannya. Aku
dengannya hanya berteman. Tidak lebih dari sekedar teman.
Apakah ini yang
disebut sebagai orang ketiga? Tapi aku dengannya sama sekali tidak
memperkenankan ada orang ketiga yang masuk ke dalam hubungan kami. Aku tetap
milikmu. Dan dia tetap milik dia, belahan jiwanya.
--o--
“Dia gak akan
pernah lupain kamu. Kamu percaya aja sama dia. Dia bukannya lupa. Dia hanya
sedang teralihkan. Sifat orang gak akan pernah berubah. Sekarang hanya pola
pikirnya aja yang berubah. Dan kamu kaget dengan semua perubahannya karena
selama tiga bulan ini kamu tidak bersamanya, kamu tidak mendampingi
perubahannya. Dia begitu bukan berarti dia tidak menginginkanmu. Walaupun
kalian berbeda, tapi aku yakin kalau kalian punya tujuan yang sama. Dia juga
pasti punya tujuan untuk bareng-bareng sama kamu suatu hari nanti.”
Laki-laki
ini...
Aku seolah
sedang bersamamu setiap kali aku bersamanya. Sebenarnya aku rindu atau
benar-benar sedang jatuh cinta? Tak adil rasanya jika aku jatuh cinta pada
bayangan. Pun tak adil jika aku rindu padamu yang bahkan mengingatku saja
tidak.
“Teh, aku
gak pernah loh ngobrol sama pacarku seserius ini,” lanjut Andi.
“Sama. Aku
juga. Aku dan pacarku gak pernah bisa ngobrol serius.” Mungkin ada nada
mengeluh dari perkataanku ini.
“LDR membuatku
kadang nyari kesenangan di tempat lain. Termasuk dengan obrolan malam kita ini.
Kadang juga muncul keinginan untuk selingkuh. Tapi aku milih untuk gak
selingkuh, apapun yang terjadi. Karena aku juga gak mau dia di sana selingkuh
dengan laki-laki lain. Rasanya jahat jika pacarmu menyuruhmu selingkuh dengan
alasan demi kebahagiaanmu. Itu hanya akan melukai lebih banyak orang. Aku gak
akan selingkuh, Teh.. Walaupun ketika aku tahu aku menyukaimu.”
“Ta...
Tapiii... Perasaanku tidak sama denganmu. Aku hanya ingin dia.”
“Ya, aku juga
tahu itu. Karena aku juga hanya ingin dia. Lalu pertanyaannya sekarang, kamu
mau nggak nungguin dia? Kalau kamu mau, sudah, semuanya selesai. Semua
keputusan ada padamu, Teh.”
Kurasa sudah
cukup. Ungkapan perasaannya seketika menyadarkanku. Tidak seharusnya aku
berlama-lama dalam kebahagiaan semu.
Lebih lama
bersamanya hanya akan membuat aku dan dia semakin larut dalam bayang-bayang
yang aku dan dia cintai. Dia adalah bayanganmu. Dan mungkin aku adalah bayangan
kekasihnya.
--o--
Dia yang
memanggilku teteh... Kamu lah orangnya. Kamu yang pertama. Kamu yang
selalu ada di hati ini. Kamu yang sanggup menggetarkan denyut jantungku secara
tak beraturan. Kamu yang tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun.
Aku hanya
mencintai bayang. Padahal kamu yang memiliki bayang itu. Kamu dan bayangmu
seutuhnya, aku selalu mencintaimu. Apapun yang terjadi, temani aku bersabar
menantimu. Apapun yang berubah saat ini, apapun yang kini tak sama lagi seperti
dulu, aku akan selalu di sini, menantimu.
Maafkan aku,
Dung... Aku hanya sedang amat merindukanmu.
Dung, ingatlah
satu hal, aku akan selalu setia. Aku menemukan jalan buntu di hatimu dan aku
terjebak di sana. aku tidak bisa berbalik untuk mencari hati lain lagi. Hanya
padamu, aku akan selalu setia.
postingan ini adalah salah satu tulisanku yang dimuat di antologi cerpen Dia Dia Dia - Penerbit Pucuk Langit |
by. si Famysa...
Wah...itu tulisan dalam buku antaloginya ya? Siippp...keren ya Mbak tulisannya dibukukan...
BalasHapusbunda rita lebih kereeenn :D
Hapus