Sabtu, 21 Maret 2015

Dia yang Memanggilku Teteh

Ada lagi yang memanggilku 'teteh'. Aku pernah mengalaminya dulu. Sama persis. Ini seperti sedang bernostalgia pada kehidupan 8 tahun yang lalu. Andai bisa lebih lama dan perlahan... Apa ini? Siapa dia? Aku ragu untuk meneruskan ide gila dengan masa laluku. Aku rindu dia yang memanggilku 'teteh'.
Oh dear... kamu benar-benar mengingatkanku padanya 8 tahun yang lalu. kamu mendengar, kamu penyayang anak-anak, kamu mudah dekat dengan wanita, kamu selalu membuatku cemburu. kamu itu dia....
Lalu, apakah kamu memang seperti dia? jika iya, beruntung sekali wanitamu. Oh, apakah wanitamu sepertiku juga? Mengapa kita sama?
Klik.
Kurasa cukup untuk hari ini. Aku sudah tidak berminat menuliskan resah gelisahku lebih jauh di catatan harian digitalku yang bernama blog. Benda ajaib yang tak bisa diraba itu lah yang menyimpan segala isi hatiku, bak tempat sampah. Ia selalu mendengar dengan khidmat. Namun tidak pernah ada respon. Ah.. Mungkin itu lebih baik daripada bercerita pada benda bernama manusia yang jago merespon, namun juga jago bermulut besar. Hari ini bercerita ke satu orang, esok hari seluruh dunia bisa tahu. Blogku jauh lebih baik sepertinya. Hanya sepertinya.
--o--
Oh, hey, Dung... Kamu masih ingat beberapa waktu yang lalu aku pernah bilang kalau aku sedang jatuh cinta pada sosok yang mirip kamu? Kamu salah jika kamu mengira aku sedang bercanda. Kamu juga salah jika kamu mengira aku sengaja mengarang cerita untuk membuatmu cemburu. Aku memang sedang jatuh cinta lagi padanya, Dung. Pada orang lain yang mirip kamu. Sosoknya memang ada. Dan itu bukan kamu.
Kamu terlalu jauh meninggalkanku. Sepertinya waktu tiga bulan cukup untukmu mengubur semua kenangan tentangku. Tiga bulan berlalu tanpa kehadiranku mampu membuatmu lupa pada cintamu padaku. Tidak ada lagi ucapan sayang, tidak ada lagi ucapan kangen, tidak ada lagi rasa membutuhkan diriku. Semudah itukah?
Sedangkan aku sebaliknya. Tiga bulan tanpa kehadiranmu justru membuatku semakin mencintaimu. Segala upaya yang kulakukan pasti sambil mengingatmu. Tidak ada sedetik pun aku melupakanmu, Dung. Bahkan sebelum aku tidur pun, namamu selalu terucap dalam doaku. Semoga aku dan kamu dipertemukan dalam mimpi... Semoga kita bisa saling menjaga cinta kita, menjaga hati kita masing-masing...
Ah, Dung, maafkan aku. Aku juga yang salah. Aku terlalu munafik. Aku menangis menyalahkan diriku sendiri. Kamu begitu karena kekeliruanku juga. Padahal aku tahu kamu selalu ingin bersamaku. Maaf.
--o--
 “Teh... Teteh... Teh Isah.. Aku mau manggil kamu Teteh aja ya.. Teh Isah. Gak apa-apa kan?”
Tetehnya sih gak apa-apa. Tapi itu Isah-nya please deh, Ndi, norak banget. Nama bagus-bagus Annisa kok jadi Isah.”
Namanya Andi Satria Gunawan. Sama-sama mengandung awalan huruf “A”, dan “awan” di belakang namanya, seperti kamu, Dung. Ardiansyah Hendrawan.
Aku sama sekali tidak menyadari sejak kapan aku mulai menyukainya. Aku juga tidak mengerti, apa alasan aku menyukainya. Rasa ini tiba-tiba datang setelah dua bulan aku mengenalnya. Kurasa ini terlalu cepat. Ah, bukannya sama, padamu dulu juga aku begini.
Aku benar-benar seperti sedang bernostalgia, Dung. Nostalgia dengan bayangmu lewat sosok orang lain. Mungkin aku hanya sedang amat merindukanmu. Mungkin. Namun kamu menjauh dan terus menjauh, sengaja menjauh. Padahal selalu ada rasa rindu di sini. Rindu yang tidak pernah berkurang kadarnya. Rindu yang terkadang sanggup membuat aku dan kamu hidup.
Bayanganmu berkelebatan dalam benda penting di kepalaku. Benda yang disebut otak. Benda yang akan membuatku mati jika ia juga mati. Silih berganti, tidak hanya ada bayanganmu. Tapi juga bayangannya. Muncul kamu yang pertama kali memanggilku “teteh”. “Mulai sekarang aku mau manggil kamu teteh ya..” Lalu muncul dia dalam sketsa yang sama. Memanggilku teteh.
--o--
“Kak, kakak pacarnya Kak Andi ya?” tanya seorang bocah perempuan berpita pink di sebelah kanan kepalanya seperti Hello Kitty, bocah itu anggota Klub Taman Pelangi –sebuah klub baca anak-anak yang mempertemukanku dengannya-.
“Looh.. siapa yang bilang, Dik? Bukan.. Kakak sama Kak Andi nggak pacaran. Pacarnya Kak Andi kuliahnya jauh, di Jakarta.”
“Aah Kak Icha bohong... Kalau gitu kayaknya Kak Andi suka deh sama Kakak. Sering banget Kak Andi salah manggil nama kakak-kakak yang lain, manggilnya ‘Icha” terus. Terus tatapannya Kak Andi sama Kakak itu loh Kaak... Hihihi,” bocah itu cekikikan. Kali ini teman-temannya juga ikut cekikikan. Dasar bocah jaman sekarang, ngebully orang yang lebih tua berani ya. 
Entah terprogram atau tidak, sejak mendengar perkataan bocah itu, hati ini juga ikut berkata bahwa ia memang sedang jatuh hati. Terungkapkan atau tidak, hati ini tetap merasakannya. Terlebih jika orang yang dijatuhi hatinya menebar umpan yang sama, dan menelan umpan yang sama pula. Sama-sama mengumpan dan terumpan.
“Kamu boleh memanggilku teteh, atau apapun yang kamu mau. Tapi jangan sampai memanggil dengan panggilan itu di depan teman-temanku ya.. Kan malu nantinya. Takut mereka jadi gosipin kita.”
“Iya, Teh. Siap,” katamu dulu dalam sebuah sms pengantar tidur.
Dan dia seperti mendengar permintaanku dalam sms padamu 8 tahun lalu. Seperti kamu yang berkata ‘siap’, namun dalam versi yang lebih dewasa, tanpa diperingatkan dia sudah mengerti.
Adegan demi adegan di setiap episodenya membuatku dejavu. Seolah aku pernah memerankan peran ini sebelumnya. Dengan skenario yang sama, namun dengan lawan main berbeda. Dengan judul yang hampir sama dengan drama kehidupan sebelumnya. Hanya saja kali ini dipoles lebih apik dan menyenangkan dengan dihadirkannya sosok nyata dan sosok bayang. Siapa yang nyata? Siapa yang bayang? Bahkan aku tidak mengetahuinya.
--o--
Hatiku masih terluka. Andai saja di apotek dijual obat untuk hati yang terluka, aku tentunya adalah orang yang paling banyak membeli obat itu. Bukan karena sering terluka. Tapi karena sekalinya terluka langsung dalam. Luka hatiku akut. Luka hatiku sanggup menghentikan anggota organisasi dalam tubuhku untuk serempak tidak kompak menjalankan perintahku. Kubilang “move ooon!!”, mereka menolak. Kubilang “semangaaat!!”, mereka malah malas-malasan, mengajakku terus berbaring dan meneteskan bulir-bulir lembut dari pelupuk mataku.
“Hey, Cha, kamu salah kalau kamu mau curhat ke Andi. You know that you have something special for him. Jangan main api lah, Cha. Kalau kamu butuh tempat berbagi cowok untuk mengerti sudut pandang cowok, kamu kan bisa curhat pada teman cowokmu yang lain. Dan bukan Andi. Tapi kalau kamu tetap keukeuh mau curhat pada Andi, terserah. Aku sudah mengingatkan. Kita lihat saja nanti, Ardi manakah yang akan menjadi partner hidupmu. Ardi asli, atau Andi yang kau bilang mirip dengan Ardi.”
Berdengung terus perkataan Riya dalam mimpi dan sadarku. Riya, sahabatku satu-satunya yang kuceritakan tentang Andi. Riya, sahabatku satu-satunya yang mengerti perasaanku padamu dan padanya. Riya benar. Tapi.... Aku tetap penasaran. Kupikir dengan berbagi dengan Andi, aku bisa mendapat jawaban atas segala tanyaku. Karena Andi dan Ardian sama. Karena kali ini hanya Andi yang bersedia kutumpahkan segala keluh-kesahku. Karena hanya Andi yang sanggup menggantikan sosokmu.
Apakah ini yang dinamakan selingkuh? Tapi aku tidak menjalin hubungan apa-apa dengannya. Aku dengannya hanya berteman. Tidak lebih dari sekedar teman.
Apakah ini yang disebut sebagai orang ketiga? Tapi aku dengannya sama sekali tidak memperkenankan ada orang ketiga yang masuk ke dalam hubungan kami. Aku tetap milikmu. Dan dia tetap milik dia, belahan jiwanya.
--o--
“Dia gak akan pernah lupain kamu. Kamu percaya aja sama dia. Dia bukannya lupa. Dia hanya sedang teralihkan. Sifat orang gak akan pernah berubah. Sekarang hanya pola pikirnya aja yang berubah. Dan kamu kaget dengan semua perubahannya karena selama tiga bulan ini kamu tidak bersamanya, kamu tidak mendampingi perubahannya. Dia begitu bukan berarti dia tidak menginginkanmu. Walaupun kalian berbeda, tapi aku yakin kalau kalian punya tujuan yang sama. Dia juga pasti punya tujuan untuk bareng-bareng sama kamu suatu hari nanti.”
Laki-laki ini...
Aku seolah sedang bersamamu setiap kali aku bersamanya. Sebenarnya aku rindu atau benar-benar sedang jatuh cinta? Tak adil rasanya jika aku jatuh cinta pada bayangan. Pun tak adil jika aku rindu padamu yang bahkan mengingatku saja tidak.
Teh, aku gak pernah loh ngobrol sama pacarku seserius ini,” lanjut Andi.
“Sama. Aku juga. Aku dan pacarku gak pernah bisa ngobrol serius.” Mungkin ada nada mengeluh dari perkataanku ini.
LDR membuatku kadang nyari kesenangan di tempat lain. Termasuk dengan obrolan malam kita ini. Kadang juga muncul keinginan untuk selingkuh. Tapi aku milih untuk gak selingkuh, apapun yang terjadi. Karena aku juga gak mau dia di sana selingkuh dengan laki-laki lain. Rasanya jahat jika pacarmu menyuruhmu selingkuh dengan alasan demi kebahagiaanmu. Itu hanya akan melukai lebih banyak orang. Aku gak akan selingkuh, Teh.. Walaupun ketika aku tahu aku menyukaimu.”
“Ta... Tapiii... Perasaanku tidak sama denganmu. Aku hanya ingin dia.”
“Ya, aku juga tahu itu. Karena aku juga hanya ingin dia. Lalu pertanyaannya sekarang, kamu mau nggak nungguin dia? Kalau kamu mau, sudah, semuanya selesai. Semua keputusan ada padamu, Teh.”
Kurasa sudah cukup. Ungkapan perasaannya seketika menyadarkanku. Tidak seharusnya aku berlama-lama dalam kebahagiaan semu.
Lebih lama bersamanya hanya akan membuat aku dan dia semakin larut dalam bayang-bayang yang aku dan dia cintai. Dia adalah bayanganmu. Dan mungkin aku adalah bayangan kekasihnya.
--o--
Dia yang memanggilku teteh... Kamu lah orangnya. Kamu yang pertama. Kamu yang selalu ada di hati ini. Kamu yang sanggup menggetarkan denyut jantungku secara tak beraturan. Kamu yang tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun.
Aku hanya mencintai bayang. Padahal kamu yang memiliki bayang itu. Kamu dan bayangmu seutuhnya, aku selalu mencintaimu. Apapun yang terjadi, temani aku bersabar menantimu. Apapun yang berubah saat ini, apapun yang kini tak sama lagi seperti dulu, aku akan selalu di sini, menantimu.
Maafkan aku, Dung... Aku hanya sedang amat merindukanmu.

Dung, ingatlah satu hal, aku akan selalu setia. Aku menemukan jalan buntu di hatimu dan aku terjebak di sana. aku tidak bisa berbalik untuk mencari hati lain lagi. Hanya padamu, aku akan selalu setia.
postingan ini adalah salah satu tulisanku yang dimuat di antologi cerpen Dia Dia Dia - Penerbit Pucuk Langit
by. si Famysa...

2 komentar:

  1. Wah...itu tulisan dalam buku antaloginya ya? Siippp...keren ya Mbak tulisannya dibukukan...

    BalasHapus

hatur nuhun kana kasumpingannana :) mangga bilih aya kalepatan atanapi aya nu bade dicarioskeun sok di dieu tempatna..

Mijn Vriend