Sabtu, 21 Maret 2015

Kaptenku, Imamku

Tak terasa sudah 17 tahun kita bersama ya, Pa.. Padahal rasanya baru kemarin Papa melamar Mama. Lalu kita menikah, mengontrak rumah ke sana - ke mari, merintis usaha, hingga sekarang ada tiga bidadari kecil di sekitar kita, Kak Nur, Kak Shofa, dan Dek Putri.
Waktu awal menikah, Mama agak merasa sedikit useless gara-gara Papa yang kerajinan. Urusan beres-beres rumah, Papa baweeel banget. Ada debu sedikit saja yang ketinggalan, Papa membersihkan ulang. Sampai bagian atas lemari yang gak pernah Mama sentuh pun Papa bersihkan. Hari Minggu, waktunya bersantai, Papa malah bangun lebih pagi untuk merawat tanaman dan beres-beres rumah. Padahal Mama saja masih ingin tidur, Pa. Papa ini sebenarnya nahkoda atau office boy sih? Hehehe...
Pa, tahu gak... Anak jaman sekarang pacaran LDR sama anak kecamatan sebelah saja galaunya ampun-ampunan. Lha kita, 17 tahun menikah LDR-an terus ya, Pa. Papa di laut A sampai Z, Mama di darat, masih setia dengan Indonesia. Waktu kita berjauhan lebih lama dari waktu kita berdekatan. Papa perginya setahun, pulangnya tiga bulan doang.
Pa, walaupun watak kita sangat berbeda, tapi justru itu yang membuat Mama makin cinta sama Papa. Ternyata memang ada orang seperti Papa ya. Hidup tanpa cita-cita, tanpa ambisi. Apa yang dijalani itu lah yang akan menjadi cita-citanya. Mengalir bagai air, tanpa tahu akan bermuara dimana. Tidak usah terlalu pusing dengan urusan besok, yang penting hari ini tetap berusaha dan bersyuk ur.
Mama ambisius, Papa santai. Mama agak pelit, Papa lebih royal. Mama kadang judes, Papa baiknya baik banget. Mama punya banyak cita-cita, Papa justru gak tahu cita-cita Papa apa, yang penting lakukan saja yang ada ya, Pa. Unik ya, kita sangat berbeda. Tapi perbedaan itu justru membuat kita bisa saling menguatkan. Mama merasa sempurna karena ada Papa. Subhanallah... Hanya Kuasa Allah yang sanggup mempersatukan kita.
Papa pernah cerita pada Mama, Papa tidak pernah membayangkan apalagi mencita-citakan Papa kelak akan menjadi nahkoda, berlayar ke mancanegara, meninggalkan anak dan istri, mempunyai penghasilan berkecukupan. Tapi pada kenyataannya sekarang Papa justru sangat mencintai pekerjaan Papa. Mama dan anak-anak bangga pada Papa, kita punya kapten yang gagah berani nan baik hati.
Ingat gak, Pa, dua tahun yang lalu, Papa bilang begini, “Papa capek, Ma. Papa di rumah saja ya.. Gak usah pergi berlayar lagi.”
Papa soleh... yang sabar ya, Pa... Usaha kita kan baru berdiri, belum cukup berkembang. Nanti kalau sudah berkembang, baru kita bisa menikmati hasilnya dengan diam di rumah, tanpa Papa harus capek cari modal lagi. Sekarang mah hasilnya masih mepet buat sehari-hari dan sekolah anak saja, Pa.. Belum ada tabungan untuk menjamin kita ke depannya.
Sekarang Mama tahu Papa capek. Tapi bukannya Papa sangat cinta pada pekerjaan Papa ya? Buktinya, selama ini Papa sanggup jauh dari Mama dan anak-anak demi loyalitas pada pekerjaan. Kenapa gak Papa pertahankan rasa cinta itu, Pa? Nanti, kalau usaha kita sudah maju, kita bakal punya banyak waktu untuk bersama. Sekarang Papa percayakan saja pada Mama, Mama pasti bisa menjaga modal dari hasil kerja keras Papa. Papa juga pasti bisa semangat dan betah kerja lagi. Iya kan, Papa soleh? J
Pa, soal si sulung, Kak Nur, Mama mohon ikhlaskan dia tinggal di pesantren. Kalau pun Papa mau Kak Nur ditarik dari pesantren dan disekolahkan di dekat rumah saja, boleh... Mama juga senang bisa kumpul terus sama anak-anak. Mama juga kan sebenarnya sedih, Pa lihat Kak Nur nangis terus minta pulang dari pesantren. Tapi ada syaratnya. Papa tinggal di sini! Bantu Mama mendidik anak-anak. Mama jujur, Pa, Mama angkat tangan kalau harus mendidik mereka sendiri. Mama sadar kalau Mama ini orangnya gak sabaran, gak kayak Papa. Mama bukan ibu yang cukup pintar yang bisa ngajarin anak-anak kalau ada PR sekolah. Mama juga baru mulai serius ngaji kemarin kan, Pa. Mama gak pede mendidik mereka seorang diri. Makanya Mama milih lebih baik Kak Nur pesantren saja. Biar adik-adiknya juga bisa nyontoh kakaknya. Papa yang sabar... Jangan cengeng gitu gara-gara lihat anaknya gak betah di pesantren.
Pa, Mama masih ingat betul kata-kata Papa dulu, sebelum kita berangkat ibadah haji. Mama juga masih ingat kelakukan Papa yang aneh. Papa memang selalu ke masjid setiap waktu shalat tiba. Tapi bukan Papa kalau tidak langsung pulang setelah selesai shalat. Mama kira Papa berlama-lama di masjid untuk beribadah. Ternyata Papa hanya menangis di sana. Setiap hari, setiap waktu, Papa menghabiskan waktu dengan menangis. Sampai hati Mama ini pilu melihat tangisanmu, Pa.. Padahal biasanya setiap Papa pulang Papa pasti menghabiskan waktu dengan anak-anak. Biasanya waktu pulang jadi hiburan buat Papa. Papa sendiri yang bilang gitu kan. Kata Papa, pulang itu... Papa bisa ketemu Mama, ketemu anak-anak, liburan bareng, belanja bareng, nonton film, makan, semuanya selalu bisa kita lakukan berlima.
“Ma, Papa pengen nikah lagi. Sama yang masih gadis, yang langsing, yang cantik,” begitu katamu dulu, Pa. Mama bakal selalu ingat kata-kata Papa itu.
Papa tahu gimana perasaan Mama waktu Papa berkata seperti itu sambil terntunduk dan menangis? Mama seperti sedang menghadapi rengekan Dek Putri yang sedang demam tapi keukeuh minta eskrim. Bahkan lebih dari itu. Hati Mama sakit sekali rasanya, Pa. Langit seperti rubuh di hadapan Mama sendiri.
Papa sayang... Maafkan Mama ya, Pa... Mungkin selama ini Mama memang kurang merawat diri. Mama kurang perhatian sama Papa yang berada jauh dari Mama. Mama sekarang gendut dan jauh sekali dari kesan modis seperti ibu-ibu tetangga. Mungkin Mama terlalu asyik sendiri. Papa kerja jauh, Mama jadi lupa kalau Mama harus mempercantik diri.
Papa yang sabar ya... Sekarang biarkan cukup Mama saja yang menjadi gadis itu. Siapapun gadis yang berada dalam bayangan Papa, ijinkan Mama untuk berusaha menjadi sosok itu. Papa yang sabar... kalau memang Papa berjodoh dengan gadis, mungkin nanti Mama yang meninggal duluan. Terus Papa bisa nikah lagi dengan gadis deh. Gak usah maksa buat poligami, Pa. Meskipun itu halal, tapi hati Mama gak siap menerima kehadiran orang lain selain Mama yang menemani Papa. Mama gak sekuat Teh Ninih yang rela suaminya menikah lagi dengan wanita yang lebih cantik darinya.
Biar bagaimana pun, Mama bahagia hidup sama Papa. Papa tenang saja, walaupun kita berjauhan, Mama gak akan pernah berhenti cinta sama Papa. Mama gak akan pernah bosan sama Papa. Kalau Papa bosan sama Mama, terserah Papa, yang penting Mama gak akan pernah bosan sama Papa. Mau Papa ubanan, gendut, kurus, hitam, atau apapun, Mama gak akan bosan, Pa.
Berbagai masalah yang lewat silih berganti selama 17 tahun ini, Mama selalu yakin kita akan bisa melaluinya dengan selamat. Karena Mama gak sendiri. Ada Papa, kaptenku, imamku yang paling soleh. Ada Kak Nur, Kak Shofa, dan Dek Putri, bidadari-bidadari kecil kita. Dan tentunya karena ada Allah, Sang Maha Pembolak-balik Hati, Dia Yang Kuasa yang mengijinkan Mama hidup dengan suami sesoleh Papa.
Pa, ijinkan Mama berbakti pada Papa sampai Mama menutup mata... Hanya Mama....
postingan ini adalah tulisanku yang dimuat di antologi Dear Suamiku - Diva Press dengan nama @famysa_ 
by. si Famysa...

2 komentar:

hatur nuhun kana kasumpingannana :) mangga bilih aya kalepatan atanapi aya nu bade dicarioskeun sok di dieu tempatna..

Mijn Vriend