Selasa, 24 Maret 2015

Sebongkah Batu Berdarah

“Ka, gue takut. Gue pengen pulang. Sekarang!”
“Tika, lu tenang dulu deh ya.. Kita semua juga pengen pulang. Lu jangan kayak gini dong! Nambah panik kita semua kalau elunya kayak gini.”
Tidak ada yang bisa menahan tangisan Tika. Bahkan Barka, pacarnya sendiri terlihat kesal karena rengekan Tika yang tiada henti meminta pulang.
Semua gemetaran, semua kedingininan, semua tegang. Tidur di mushola kecil, kotor, dan penuh dengan jejak kaki anjing itu ternyata tidak lebih baik dari tidur di tenda walau harus bergelut dengan hujan yang mengguyur deras. Dari tangan ke tangan, semoga bisa sedikit memberi kehangatan dan ketenangan pada malam hari itu, malam Jumat Kliwon.
Runi sebagai orang yang disebut pemimpin perjalanan diminta untuk mencari tahu siapa sebenarnya sosok itu. Manusia kah? Atau manusia jadi-jadian? Atau malah semuanya sedang dibuat berhalusinasi oleh alam? Dengan berbisik dari telinga ke telinga, akhirnya semua memilih Willy yang akan menemani Runi keluar mencari tahu.
Dengan perasaan tak karuan karena diliputi rasa takut, Runi dan Willy permisi pada sosok itu. Dan sosok itu hanya berdehem dengan suaranya yang berat, “ehmmm...” Runi dan Willy segera pergi, tanpa sempat memperhatikan sosok itu.
Hujan semakin deras. Angin dan petir pun bersahutan. Mereka seperti sedang mengejek. Mereka seperti sedang menertawakan Runi dan Willy yang hanya bercahayakan lilin dan mempunyai sedikit keberanian.
Runi dan Willy berjalan dalam gelap. Cahaya senter yang mereka bawa tidak cukup bisa melawan kelamnya malam. Derasnya hujan membawa cahaya senter mereka pergi. Derasnya hujan pun menembus jas hujan yang mereka pakai. Jalanan yang licin, berbatu dan berlumut, serta guyuran hujan memperlambat langkah mereka menuju warung yang sekaligus rumah bagi pemiliknya. Berjalan turun 500 meter saja seperti sedang berjalan naik berkilo-kilo meter. Terasa lama dan payah.

--o--

“Ehmmm.... Kalian jangan berani macam-macam di sini. Apalagi berani macam-macam dengan saya. Saya ini bukan manusia. Tinggi saya tujuh meter. Saya tidak akan segan-segan menceburkan kalian ke dalam aliran curug jika kalian berniat buruk. Saya juga tidak akan segan-segan membunuh kalian jika kalian tidak memercayai kata-kata saya ini. Bahkan kalau kalian tidak percaya, silahkan buktikan saja. Hahahaha....” 
Tertawanya bak di film-film horor ketika dukun sedang beraksi. Suaranya berat namun dapat menelan suara-suara sekitarnya. Suaranya seolah tak terkalahkan. Sekali pun enam orang siswa-siswi SMA di mushola itu berteriak, suara sosok itu pasti akan lebih keras mencabik-cabik mereka. Mereka hanya bisa diam sambil memegang jantung masing-masing. Syukurlah jika jantung mereka masih berada di tempatnya...
Entah kapan datangnya sosok itu. Diantara mereka tidak ada yang menyadarinya. Tiba-tiba saja sosok itu ada di tengah-tengah mereka yang baru saja akan tertidur lelap. Mulanya Runi memang kaget. Tapi Runi pikir paling itu penduduk sekitar yang sedang berkeliling area curug, kehujanan, dan berteduh di mushola, sama seperti Runi dan teman-temannya. Namun ketika sosok itu mulai tertawa dan meracau segala hal, baru semuanya terbangun dan sepenuhnya tersadar. Sosok itu terus meracau. Kadang nada bicaranya turun sampai tak terdengar. Tapi kebanyakan nada bicaranya tinggi seperti sedang menghantui.
“Dulu saya pernah mendorong muda-mudi yang datang ke curug. Saya tahu niat mereka buruk. Mereka melecehkan apa yang saya katakan. Mereka tidak percaya segala hal tentang Curug ini. Tengah malam, mereka ingin membuktikan kebenarannya. Aaahhh.... anak-anak muda seperti itu tidak tahu diuntung! Saya bunuh saja mereka, dua-duanya. Hahahaaa....”
Sosok itu seperti tahu apa yang mereka pikirkan. Semakin mereka ketakutan, sosok itu semakin meracau tak tahu arah. Pun ketika terlintas di pikiran Runi... Bagaimana bisa tinggi aslinya tujuh meter? Kapan dia berubah menjadi wujud aslinya?
“Saya tidak main-main dengan perkataan saya. Bahkan wujud lain saya adalah harimau. Saya berteman dengan Ratu Penguasa Pangandaran dan Dewi Sri. Kalian tahu Dewi Sri? Dia pemilik semua nasi yang kalian makan!” sentaknya membuyarkan pikiran Runi.
Mungkin sosok itu manusia jadi-jadian. Ah, tidak. Mungkin sosok itu sedang kerasukan makhluk lain.
Barka terus merapalkan semua doa yang ia bisa. Tika terus menangis. Awan mencoba mencairkan suasana dengan berusaha masuk dalam obrolan sosok itu. Runi dan Willy akan mencari sebait kalimat dari penduduk yang dapat menenangkan mereka. Sedangkan Ria, Yodha, dan Lita tetap dalam posisi mereka dengan gemetar ketakutan.

--o--

“Wil, sepertinya kita tersesat. Perasaan gak sejauh ini deh jarak dari mushola ke warung penduduk.”
“Kamu juga ngerasa gitu, Ni? Aku kira aku yang terlalu ketakutan, sampai jalan ke warung aja kerasa jauh banget.”
Runi dan Willy saling menangkap raut kekhawatiran di wajah masing-masing. Tersirat tanda tanya besar di wajah mereka. Namun siapa yang bisa menjawab pertanyaan mereka? Selain angin yang terus berhembus kencang dan penguasa kegelapan yang mempermainkan.
“Lalu sekarang kita harus kemana? Balik ke mushola atau lanjut ke warung?”
Willy menyibakkan lengan jas hujan untuk melihat jam tangan. Senter yang kian redup cahayanya ia arahkan ke jam tangannya.
“Parah! Sejam lebih kita jalan, warungnya belum kelihatan juga. aku gak yakin kita bakal nemuin warung-warung penduduk itu, Ni. Lebih baik kita balik aja. Kasihan teman-teman lama menunggu kita.”
Runi dan Willy balik badan putar haluan. Mereka kembali menyusuri jalan yang tadi telah dilewati. Mereka kembali bertarung melawan dingin dan ketakutan. Mereka terus berjalan, bahkan setengah berlari. Niat hati ingin cepat sampai di mushola untuk kembali berkumpul bersama teman-teman. Kenyataannya.... Sesampainya di mushola, tak ada seorang pun di sana! Sosok itu pun tidak ada! Kemana perginya Awan, Ria, Lita, Yodha, Tika, dan Barka?

--o--

“Gue gak mau matiiiii!! Tolongin gueee! Gue gak mau mati! Please jangan bunuh gue! Gue masih mau hidup. Gue gak mau matiiii!!!!!! Gue takuuut!”
Jeritan Lita menciptakan lolongan panjang. Tangisan yang menyelimuti lolongan itu membuat suaranya semakin lama terdengar semakin parau. Hingga teriakannya sama sekali tidak terdengar lagi. Lenyap diguyur derasnya hujan. Hilang bersama angin yang bertiup semakin kencang.    
“Ha..Ha..Ha... Dengan jasad dan darah segarmu, aku akan hidup lebih lama lagi. Ha..Ha..Ha.... Kau bukan manusia baik, kau selalu berniat buruk, sama sepertiku. Lebih baik aku meminum darahmu, lalu kita akan bersatu. Ha..Ha..Ha...”
Tangannya menggenggam sebongkah batu. Sambil terus tertawa mengerikan.

--o--

“Litaaa.....”
“Litaaaa.....!!”
“Lita, lu dimana?”
“Litaaa!”
“Lit, lu jangan tinggalin guee! Lu dimana, Lit??”
Tidak ada siapa-siapa lagi di tengah hutan selain mereka berlima. Kecuali sebongkah batu yang berlumuran darah dan tetesan darah di sepanjang jalan setapak. Lalu tetesan darah itu menghilang di tepian sungai yang menjadi tempat mengalirnya air curug.  

by. si Famysa, nostalgia :)

4 komentar:

  1. Ini fiksi apa beneran? koq serem :/

    BalasHapus
  2. jiah ... masih pengen lanjutannya eh udah selesai. saya lagi nulis cerpen disela-sela jam kerja, ntar kalau dah diposting, silahkan dikomentari yaa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. udah buntu mau lanjutin ceritanya gimana lagi. hehe
      siaap bang ;)

      Hapus

hatur nuhun kana kasumpingannana :) mangga bilih aya kalepatan atanapi aya nu bade dicarioskeun sok di dieu tempatna..

Mijn Vriend