Selasa, 24 Maret 2015

Sesal, Rindu, Lalu Hilang

Benar kata orang, penyesalan selalu datang di akhir. Penyesalan seperti tokoh hero yang selalu muncul di episode-epidose terakhir. Bedanya, tokoh hero datang di akhir untuk menumpas kejahatan, sedangkan penyesalan datang di akhir untuk memberi pelajaran. Dan seringnya pelajaran dari penyesalan itu disertai rasa sakit. Seperti yang kurasakan saat ini. Sesal dan sakit.
Apapun yang kulakukan, dimana pun, kapan pun, ingatan tentangnya kerap kali muncul. Bahkan segala benda dan manusia yang kulihat selalu bisa mengingatkanku padanya. Segala hal tentangnya, mengapa begitu jelas sekarang? Segala hal tentangnya mengapa justru selalu mengikuti ketika sosoknya sudah tak bisa lagi kugapai?
Beberapa pasang muda-mudi berlalu-lalang di hadapanku. Dari yang muda hingga yang tua. Sekelompok siswa SMP yang terdiri dari empat orang laki-laki, di tengahnya terselip seorang perempuan. Dia yang paling cantik, karena dia perempuan satu-satunya di kelompok itu. Sepasang siswa dan siswi SMA sedang mengobrol malu-malu di bangku taman sebelahku. Mungkin mereka sepasang kekasih yang baru jadian. Atau mungkin mereka sedang dalam tahap pedekate. Ada juga sepasang muda-mudi di bangku taman tepat di depanku yang sedang asyik menyantap eskrim cone. Mereka terlihat akrab sekali. Mungkin mereka masih kuliah. Yang jelas sepertinya mereka sudah bukan anak sekolahan lagi. Atau mungkin juga mereka sudah menikah. Jika iya, sungguh pasangan muda yang menyenangkan dipandang mata.
Bersantai di taman kota rupanya bukan keputusan yang cukup tepat untuk menghilangkan rasa sakit. Hatiku malah makin teriris. Segala pemandangan yang kulihat ada saja yang bisa memunculkan ingatanku tentangnya. Kuputuskan untuk pergi sesegera mungkin dari taman kota.
“Apa yang harus kulakukan sekarang pada hubungan kita?”
“Nggak ada. Aku cuma lagi ingin sendiri. Terserah kamu sekarang mau gimana. Pokoknya aku cuma lagi ingin sendiri. Tinggalin aku.”
“Tapi kamu mau aku nungguin kamu kan?”
“Nggak! Kamu boleh punya pacar lagi kalau memang kamu mau. Kecuali yaa kalau nanti aku sudah siap, dan kamu masih sendiri, aku mungkin bakal balik lagi sama kamu,” tegasku mantap. Menutup obrolan kita yang semakin memanas.
Lalu untuk yang ke sekian kalinya, dia mengatakan bahwa aku jahat, dan aku menyetujuinya. Iya, aku memang jahat. Termasuk jahat pada diriku sendiri, yang bodohnya baru kusadari saat ini.
Pertengkaran hari itu, pertengkaran yang selalu dibumbui oleh tangisannya, pertengkaran yang ternyata membawaku pada ruang sesal ini. Bahkan kini aku rindu menyeka air matanya dengan jari-jemariku, aku rindu memberinya sehelai tisu, aku rindu mengusap pipinya yang masih dibanjiri air mata. Padahal aku selalu inginkan dia. Namun kenyataannya waktu itu aku sama sekali tidak peduli pada tangisannya yang merajuk. Kenapa aku diam? Kenapa aku malas mendengarkan dan menatapnya? Kenapa aku justru menutup telingaku dan berpura-pura tertidur?
Sesal yang kukira tidak akan pernah menghinggapi hari-hariku kini justru paling menyita emosiku. Sesal yang kukira akan cepat berlalu seperti aku yang dulu mudah berlalu darinya kini justru semakin dekat dan melekat. Sesal ini memaksaku untuk membenci diriku sendiri.

--o--

Jalanan hari ini begitu lengang, senyap, dan sepi. Tidak seperti biasanya. Padat dan terkesan menegangkan karena mobilitas tinggi penduduknya. Kini hanya ada satu-dua orang saja yang lewat. Kemana perginya orang-orang? Ah, apakah mungkin aku saja yang tidak memperhatikan sekitar. Aku terlalu lama jalan sambil menunduk. Seperti pengemis yang sedang mencari-cari recehan, mungkin saja aku bisa menemukan recehan di sepanjang jalan yang kupijak. Ya, semoga recehan itu ada.
Pantas saja jalanan ini ditinggalkan oleh penggemar setianya. Angin di awal bulan Januari terlalu menusuk. Belum lagi rintik-rintik yang dihasilkan oleh awan yang menangis. Kemarilah... Temani aku menempuh perjalanan ini. Setidaknya sampai aku tiba di rumah dan dapat terpejam. Ini yang dulu biasa dilakukan olehnya. Bersembunyi dalam rintik hujan untuk menyembunyikan hujan lain di wajahnya. Tangisnya. Diam-diam aku merasakan apa yang mungkin dulu dia rasakan. Hangat. Namun perih.
“Kamu benar-benar gak mau aku nungguin kamu?”
“Harus berapa kali lagi aku bilang, gak usah! Aku belum mau menikah. Aku masih ingin sendiri. Tanpa kamu, tanpa perempuan manapun.”
“Iya, aku ngerti. Aku bisa nungguin kamu... Sampai kamu siap menikah. Aku mau kita bareng-bareng lagi kayak dulu. Gak usah bahas pernikahan. Tunda dulu obrolan tentang nikah sampai nanti, sampai kamu mau membahasnya.”
“Percuma. Aku gak cinta lagi sama kamu.”
Kata-kata pemungkas itu yang menghadirkan sesal hingga kini. Aku keliru. Aku berbohong besar pada diriku sendiri. Egoku waktu itu sanggup menyembunyikan rasa hatiku yang terdalam. Bodohnya lagi, kenapa aku membiarkan ego itu tetap ada. Seolah justru aku lah yang menghadirkan dan memelihara ego itu. Lalu membakar, membakar, dan menghanguskan kehadirannya.   
Lebih baik kerasnya hidup kemarin bersamanya. Daripada hidup tanpa tantangan seperti yang sedang kujalani saat ini. Tidak ada dia, tidak ada tujuan. Aku terus berjalan tanpa tahu kapan saatnya aku harus beristirahat, berhenti, atau berlari. Bak layang-layang putus, terhempas ke sana-sini oleh angin, tanpa bisa menolak, tanpa ada keinginan untuk menolak. Oh, selinglung itu kah aku?
Duduk di bangku taman kota, berjalan sendirian, menghujani diri sendiri dengan tangisan awan, semuanya bukan ide yang tepat kurasa. Aku semakin merasakan kehadirannya begitu berarti untukku. Aku semakin merasakan ngilu karena kehilangan ketika aku sadar bahwa dia yang berarti tidak lagi ada di sisiku.
“Kita akan baik-baik saja dengan belajar mengerti satu sama lain. Bukan saling menuntut, tapi saling memberi yang terbaik. Aku yakin kamu punya banyak kejutan untuk membahagiakan aku. Aku sayang kamu, dan kamu beruntung. Kamu tahu... Ini semua untukmu. Bahkan aku hidup juga untukmu.”
Hanya kata-katanya dulu yang terngiang-ngiang dalam rekaman ingatan. Rekaman ingatan yang memaksaku untuk selalu memutar ulang. Replay, replay, replay. Padahal itu hanya rekaman. Dan aku tahu bahwa setiap rekaman tidak akan bisa terulang kembali dalam kehidupan nyata. Andai saja kata-kata itu terucap sekarang...
Aku yang salah. Aku yang bodoh. Aku menyia-nyiakannya. Sialnya sesal ini kenapa harus muncul semakin kuat. Setiap aku mencoba menepis ingatan tentangnya, setiap kali itu juga sesal ini menyeruak semakin kuat.

--o--

Bus Trans Jakarta sore ini sama seperti kemarin, sama seperti saat sebelum ada dia, saat ada dia, dan saat dia kulepaskan. Selalu penuh berjejalan manusia. Ah, ternyata memang tadi selama berjalan kaki aku saja yang sedang kacau. Mungkin banyak manusia yang berlalu-lalang di sekitarku. Akunya saja yang sedang kacau. Saking kacaunya benang kusut pun kalah olehku.
Lalu biasanya aku akan selalu mengeluh padanya ketika sudah sampai di rumah. Keluhan merajuk agar tangan dan kakiku dipijiti sebelum dia pulang ke rumahnya yang berada di kanan depan rumahku. Kali ini semua berbeda. Rumah di kanan depan rumahku, aku sudah tidak mengenalnya. Rumah itu kini terlihat sepi. Pintu rumah yang dulu sering terbuka kini selalu tertutup. Tidak ada lagi sosoknya. Aku benar-benar telah kehilangan.

--o--

Klik. Halaman yang kusimpan ini telah menjadikanku candu. Setiap kali membukanya, membaca kalimat demi kalimatnya, hati ini semakin perih. Namun tangan tak sanggup untuk menghapusnya. Pun jika dihapus, aku pasti akan membuka dan membacanya lagi, langsung dari buku harian digitalnya yang dia sebut blog.
“Aku bingung dengan hubungan kita. Bersama, saling menyakiti. Berpisah, tetap akan tersakiti. Bukan kamu yang membuatku bingung. Tapi cinta lah yang membingungkanku. Kita harus memperlakukan cinta seperti apa dan bagaimana? Beritahu aku. Kalau saja cinta bisa memilih, aku pasti tidak akan memilih kamu. cinta memainkan hati, bukan otak. Cinta datang begitu saja, bahkan tanpa kita sadari. Kupikir kita bisa saling melengkapi. Tapi kadang ego kita muncul berbarengan. Tidak ada yang mau mengalah walau sudah diberi jalan keluar lain. Aku egois, kamu pun tak kalah egois.”
Aku selalu terhenti di kalimat itu. Dia benar, nyatanya sekarang aku tersakiti, mungkin dia juga sama. Bukan dia yang egois, tetapi aku. Bahkan ketika dia rela menungguku, dengan sombongnya aku menolaknya. Rasakan akibatnya sekarang! Sesal yang tiada berujung.
“Kamu sayang aku. Aku butuh kamu. tapi cinta membuat kita tak bisa jadi satu. Selalu saja ada beda. Beda itu mencuat, begitu tajam. Aku khawatir. Aku butuh kamu. Kamu sayang aku kan? Tolong tetap bersamaku. Perkuat yakin kita dengan selalu bersama, tanpa ada jalan pintas lain.” 
Melepasnya tidak semudah yang kubayangkan dulu. Sesal semakin menjerat ketika tahu betapa tidak pedulinya aku padanya dulu. Sesal terus datang berbarengan dengan bayangannya. Kulihat dia yang mengucap maaf. Kulihat dia yang mengucap terima kasih. Kulihat dia yang berjalan menjauh dariku setelah menjabat tanganku dengan penuh getar yang dibuat tegar. Kulihat dia yang diam-diam menitikkan air mata. Kulihat dia yang berjalan beriringan dengan laki-laki yang kutahu mencintainya dengan segenap hati, berbalut gaun putih layaknya putri kerajaan. Tidak sepertiku. Aku mencintainya hanya dalam rasa, tanpa menunjukkannya, tanpa mempertahankannya. Ketika aku kehilangan, hanya ada sesal yang menjalar.
Ah, rumah di kanan depan rumahku tidak menyimpan sosok nyatanya lagi. Di sana sepi, sama seperti di sini, di dalam hatiku.

Aku merindukannya.

by. si Famysa, lagi ubek-ubek tulisan lama :P

2 komentar:

hatur nuhun kana kasumpingannana :) mangga bilih aya kalepatan atanapi aya nu bade dicarioskeun sok di dieu tempatna..

Mijn Vriend