Senin, 25 April 2011

Teddy Bear Untuk Nisa

Oleh: Syifa Azmy Khoirunnisa

“Aaahh... sumpah aku gak nyangka kenapa akhirnya jadi seperti ini. Kenapa ibu baru mempermasalahkannya sekarang? Apa yang harus kita lakukan, Wan?”
“Entahlah.”
Percakapan antara aku dan Nisa tadi siang masih terus terngiang-ngiang di telingaku. Aku masih belum berani mengambil keputusan. Andai kau tahu, Nis, aku takut.
Tiba-tiba di tengah ketakutanku, handphoneku berdering. Kubaca ternyata pesan dari Nisa.

Ibu serius menyuruh kita menikah. Lakukan sesuatu, Awan! Sebelum semuanya tambah rumit. Please nikahi aku atau lupakan aku!
Pengirim: .anNisa:*
+62899718xxxx

Sungguh aku bimbang. Sebenarnya aku sangat ingin sekali menikahi gadis yang aku cintai itu, namun apa mau dikata, aku masih kuliah, aku belum mempunyai penghasilan untuk bisa menafkahinya. Maafkan aku, Nisa.

---0---

Pagi secerah ini belum tentu dapat dirasakan oleh kekasihku. Mungkin di sana dia masih tetap sabar menanti keputusanku. Sementara aku di sini masih belum punya nyali untuk memutuskannya. Apakah nekat adalah jalan satu-satunya yang harus kutempuh saat ini? Baiklah. Akan kuterima tantangan ini. Tuntunlah hambamu dalam mengambil keputusan, Yaa Allah.

Aku akan menikahimu besok pada hari anniversary kita yang ke-3 jam 9 pagi. Temui aku di Gajah Mungkur sekarang. Aku menunggumu.
Ke: .anNisa:*
+62899718xxxx

“Awan!”
Aah itu suara Nisa. Ternyata aku tak usah menunggunya lebih lama lagi.
“Nis, pinjami aku uang untuk membayar maharmu.” Sungguh aku malu sekali mengatakannya. Tak ada jalan lain, Nis.
Aku tak berani mengangkat wajahku. Tak berani aku menatap wajah Nisa. Samar-samar kudengar dia sesenggukan, dia menangis tersedu.
Di dalam tangis dia berkata, “Baiklah. Akan kupinjami Kau uang. Berikan aku mahar yang dulu pernah kupinta darimu. Kuharap Kau masih mengingatnya, Wan.”
“Tentu aku ingat selalu, Nis. Terima kasih banyak atas segala kebaikanmu.”
Tanpa pikir panjang, aku segera bergegas ke sebuah toko. Kupilihkan mahar terbaik untuknya, walaupun ini hutang.

---0---

“Saya terima nikahnya Annisa Nur Anbiya binti Abdul Rauf dengan maskawin boneka teddy bear jumbo dibayar tunai,” aku telah berdusta, batinku. Aku berhutang, aku tidak membayar tunai mahar itu. Tuhan semoga Kau mengesahkan pernikahan kami...
Di ruangan ini kini bergemuruh suara saksi yang berkata ‘saaahh...’. diiringi tangis kekasih yang kini telah resmi menjadi istriku. Aku semakin limbung. Rasanya aku akan tak sadarkan diri di tempat. Tatapanku gelap dan hening seketika menjalar. 

---0---

Kehidupanku yang sebenarnya bersama istriku berawal dari sini. Setelah ijab-qobul dilangsungkan, aku langsung memboyongnya ke Yogyakarta, karena hari ini sebenarnya aku juga Nisa sudah harus mulai kuliah. Menyedihkan sekali malam pertama kami. Tidur dihimpit ruangan kecil berukuran 2x2 meter, beralaskan kasur gulung pemberian ibuku, dengan berselimut sarung tipis satu-satunya milikku. Aku ingin menangis. Aku tak cukup rela melihat dia hidup menderita disampingku.
“Awan, tatap aku. Aku telah halal bagimu,” bisik istriku lembut.
“Tidak, Sayang. Aku belum siap. Maafkan aku.”
Kasihan istriku. Apa mau dikata, sudah kukatakan sebelumnya bahwa aku tidak punya cukup nyali untuk itu. Aku menikahinya dengan hanya bermodal cinta dan sedikit kenekatan, atau mungkin dapat disebut kegilaan.
Satu hari, dua hari, tiga hari, bahkan seminggu berlalu kami masih tetap sama. Kami belum bisa melakukan apa-apa kecuali istriku yang giat dengan online shop kecil-kecilannya. Aku masih menjadi seorang mahasiswa sekaligus cleaning service di kos-kosan kami. Sambil tekadang aku ikut bantu-bantu menjaga warung makan milik sekumpulan perantauan Sunda di depan kosku.
“Wan, uangku lama-lama akan habis. Keuntungan dari berjualan online tidak seberapa. Aku harus meminta bantuan modal pada ayahku. Hanya ayahku yang kurasa saat ini bisa menolong kita.”
Aku heran padanya. Aku sama sekali tidak melihat raut sedih di wajahnya lagi. Yang terlihat justru kobaran semangat membara dari dalam dirinya. Entah itu muncul dari mana. Kau memang hebat, Istriku.
Dan ternyata dia memang benar-benar berani meminjam uang untuk modal hidup kami pada ayahnya. Mau ditaruh dimana mukaku ini. Sungguh tidak tahu malu. Sudah berapa kali yang bisa terucap dari mulutku hanyalah kata maaf, maaf, dan maaf saja. Hhh....
“Suamiku, ayah sudah mengirimiku uang. Alhamdulillah nominalnya cukup besar. Bisalah untuk modal usaha kita.”
Setelah mengambil uang di ATM, istriku langsung berbelanja ini-itu. Yang kulihat dia membeli dua dus besar roti berukuran agak besar, macam-macam selai, peralatan merajut, kain flanel, benang, skotlait, dan biskuit kalengan. Aku tidak mengerti akan dia apakan barang-barang belanjaannya itu.
Selalu saja ada kejutan dari istriku setiap harinya. Menu kejutan hari ini adalah, kami akan memulai usaha kami dari nol besar. Aku diberi istriku peralatan untuk membuat kerajinan tangan cincin anyaman. Di sela-sela waktu kuliah, kusempatkan untuk berjualan pada teman-teman kelasku. Hasilnya tidaklah buruk, justru sebaliknya, ternyata banyak juga yang menggemari buah tanganku. Aku senang bukan kepalang. Setidaknya kini aku bisa mendapatkan penghasilan tambahan lagi dari berjualan kerajinan tangan ini. Walaupun aku sadar, aku beserta istriku akan sangat kelelahan setiap harinya setelah hari ini.
Sementara aku berjualan cincin anyaman, lain halnya dengan istriku di kampusnya. Dia berjualan pernak-pernik rajutan dan kerajinan tangan dari kain flanel. Aku melihatnya tanpa lelah terus bekerja. Di kampus kami berjualan kerajinan tangan, di rumah pun kami berjualan, jualan TiKus. Ya! TiKus itu singkatan dari roti kukus.
Syukur selalu kami panjatkan kepada Tuhan kami, Allah SWT. Di sepertiga malam terakhir istriku tak pernah absen membangunkanku untuk sholat tahajud. Derai air mata selalu membasahi mata, pipi, dan bibir istriku di tengah komunikasinya dengan Tuhan. Aku sangat mencintainya, Tuhan. Kuatkanlah kami dalam menjalani hidup ini...
Aku yakin bahwa kerja keras kami selama ini pasti akan menerima balasan manis suatu saat nanti. Dan ternyata sekarang lah ‘suatu saat nanti’ itu. Ada yang menawarkan kerja sama kepada istriku. Dia ditawari sebuah butik di Kota Kembang oleh salah seorang temannya. Dengan senang hati kami menerima tawaran itu. Butik itu dia namai “Awanis collections”, yang merupakan singkatan dari nama kami berdua, Awan dan Nisa.
Mulai hari ini kami semakin sibuk dengan bisnis kami. Baru kali ini aku melihat istriku tersenyum lebar. Mungkin itu karena salah satu mimpinya dulu semasa sekolah untuk mempunyai sebuah butik kini tercapai. Alhamdulillah...
Dari hari ke hari aku semakin kuat menjalani hidup dengan hadirnya istriku disampingku. Tak jarang terkadang air mataku tiba-tiba terjatuh membasahi pipi. Aku semakin bersyukur, aku semakin bahagia.

---0---

“Wan, sudah hampir menjadi pengusaha sukses nih kita,” kata istriku sambil menyunggingkan senyum manisnya.
“Semua berkat kerja keras kita dan bimbingan Allah, Sayang. Aku bahagia bersamamu. I love you, Cantik,” godaku.
“Iiiihh... Si Awan centil. Apaan sih ah gombal banget.” Tanpa sadar wajahnya telah memerah tersipu malu.
Pinjaman modal dari ayah Nisa sedikit demi sedikit telah bisa kami cicil. Kami juga mulai menabung untuk masa depan kami, untuk membeli rumah yang layak untuk wanita secantik istriku, serta untuk biaya anak-anak kami kelak. Aku juga berjanji, Nis, lambat-laun aku pasti akan membayar hutangku padamu tempo dulu.

---0---

Tak terasa kebersamaan kami telah tiga tahun lebih berlalu. Hari ini istriku akan diwisuda. Dia akan mendapat gelar sarjana sosial dengan perolehan IPK tertinggi. Selamat, Istriku, aku bangga padamu. Di tengah kerasnya hidup bersamaku, kau tetap bisa fokus pada kuliahmu. Aku akan semakin mencintaimu...
Terdengar seruan pembawa acara di depan sana, “Dipersilahkan kepada para lulusan dengan nilai cum laude untuk naik ke atas panggung dan menyampaikan sambutannya.” Langsung kupersilahkan Istriku maju. Dia tidak akan tahu bahwa setelah dia naik ke atas panggung, aku akan mengejarnya.
            “Annisa Nur Anbiya Istriku, hari ini di atas panggung milikmu, akan kuumumkan pada semua orang bahwa aku sangat bangga bisa mendampingimu. Kau telah membawa arti dalam hidupku. Jika ada yang bertanya siapa wanita yang paling hebat di dunia ini, akan kujawab Kaulah Istriku. Aku mencintaimu demi Allah. Terimalah ini, Sayang...” Kuberikan boneka teddy bear jumbo kepadanya. Dia terpaku di hadapanku, hanya suara tangisnya yang terdengar. Diam-diam dia mencium tanganku, dan berkata, “Anna uhibbuka fillah, yaa Akh..”

by. sii Famysa cantik ^^

4 komentar:

  1. ahahahahaha ... nice , diangkat dari kisah nyata nih kayaknya hhohho, sumpah malu gw bacanya ^^

    BalasHapus
  2. :D kagak ah... ini lebayisasi. *ssstt jangan buka kartu padahal. xixixi

    BalasHapus

hatur nuhun kana kasumpingannana :) mangga bilih aya kalepatan atanapi aya nu bade dicarioskeun sok di dieu tempatna..

Mijn Vriend