Rabu, 13 April 2011

Awan di Pelupuk Mata Nisa (part 3)


Sejauh kaki melangkah, aku mulai tersadar hendak kemana langkah kaki kami kali ini. Nisa menyeretku ke Situ Saradan, ke tempat kenangan masa kecil kami.
Terlihat di kejauhan sana sosok Ki Jaya, Ni Jaya, beserta semua penduduk kampung. Tak tahulah aku apa yang akan mereka lakukan terhadapku.
Ki Jaya mendekat, dia memulai pembicaraannya, “Wan, lihat kampung ini! Begitu hijau bagaikan permadani terhampar luas. Begitu rindang bagaikan selalu dipayungi langit biru. Situ Saradan, tempat Jang Awan dulu bersenda gurau selalu menyuguhkan telaganya yang bening dan menyejukkan sekujur tubuh. Alamnya luas. Tidak ada bencana di sana-sini seperti di ibukota, tempat istanamu berada. Akankah Jang Awan tetap mempermasalahkan tradisi pamali kampung ini?”
Aku marah, sedih, galau. Aku berteriak sekencang-kencangnya, “Tetapi mitos itu yang mencelakakanku dulu, Ki. Aku hampir mati. Aku nyaris putus harapan, untuk apa aku hidup dengan wajah buruk rupa seperti ini. Aku merasa pandangan orang-orang begitu panas terhadapku, seperti kegerahan enggan melihatku barang sedetik saja. Mungkin aku juga tidak akan punya teman selama 10 tahun ini karena rupaku. Jika bukan karena derajat orang tuaku sebagai petinggi negara, aku pasti akan terlunta-lunta di kolong jembatan sana. Tidak akan ada yang mau mendekatiku, apalgi bermitra denganku. Aku benci dengan pamali-pamalimu.”
Jang Awan, sesungguhnya kita teh amat sayang sekali pada Jang Awan. Aki mengerti perasaan Jang Awan selama ini.....”
“Tidak, Ki!” aku memotong pembicaraan Ki Jaya. “Tidak ada yang mengerti aku, apalagi perasaanku.”
“Awan!” terdengar Nisa mulai merecoki kami.
“Tidak juga kau, Nis!” gertakku.
Perlahan penduduk kampung meninggalkan Situ Saradan. Sedikit terdengar bisik-bisik diantara mereka. ~Lebih baik kita pergi saja. Untuk apa juga kita di sini menonton jalma bedegong. Kita pan sudah menunjukkan padanya kalau kita akan tetap silih asah, silih asih, jeung silih asuh. Kunaon si Jang Awan tidak mau menerimanya. Bedegong.~
 Tangisku menjadi-jadi seketika. Aku meraung kesakitan. Aku tidak terima akan semua ini. Orang-orang kampung mempermalukanku.
Situ Saradan tiba-tiba hening. Seolah ikut merasakan penderitaanku. Semua orang pergi meninggalkanku sendiri di sini. Mungkin inilah waktunya untukku merenung, memuhasabah diriku. Sepi.....
Langit biru sama sekali tak bisa mendengar jerit hatiku. Rerumputan juga, dia tak bisa ikut merasakan perihnya jiwaku. Seluruhnya batinku tersayat. Aku menyerah, Tuhan. Aku menyerah akan siksamu. Jika Kau inginkanku berkata dengan lantang bahwa aku telah menyerah, akan kulakukan, Tuhan.
Hanya angin yang berhembus saja yang bisa menuntunku ke hadapan pohon beringin bertuah. Menunduk aku meminta maaf kepadanya, sebab dulu aku telah melukainya.
Dahulu memang salahku. Bukan pamali itu yang menghukumku, tetapi Tuhan. Wajar saja jika Tuhan murka padaku, sebab aku telah merusak makhluk ciptaan-Nya. Namun mata hatiku selama ini telah tertutup untuk bisa memandang hikmah dari suatu perkara. Aku ingin menikmati alam ini sekali lagi saja, Yaa Tuhan. Jangan dulu kau timpakan siksa padaku.
Seketika gelap merasuk. Aku menutup mata dan tak sadarkan diri.
Sedangkan keadaan di gubuk dalam waktu yang bersamaan........
Pa, kumaha pami Awan udur deui?” tangis Nisa pada Ki Jaya, bapaknya.
“Entahlah, Neng. Bapak harap dia bisa mengambil hikmah dari suatu tradisi yang dia anggap kampungan. Maksud kita kan bukan apa-apa. Kita hanya ingin agar alam sekitar kita tetap lestari. Bukannya pamali seperti dalam pandangan Jang Awan. Kita tidak menyesatkan penduduk, kan. Terbukti dengan kepatuhan penduduk terhadap pamali, alam kita lestari, bumi kita tetap tersenyum ramah pada kita, Situ Saradan tetap berbagi bening airnya. Ooh, Neng. Andai Jang Awan sadar akan hal itu, mungkin dibalik wajahnya yang sudah tak tampan lagi akan tersimpul senyuman manis. Pokoknya kita harus tetap patuh pada pamali, silih asah, silih asih, silih asuh.
“Nisa ingin berlari ke tempat Awan, Pak. Izinkan Nisa kesana.”
“Baiklah.”
Gadis polos itu terus berlari dan berlari mengejar keberadaanku. Namun sayang, dia terlambat. Aku telah terbang......

Semarang, 26 Maret 2011


by. sii Famysa cantik ^^

4 komentar:

  1. yah...udahan....... ah.... bikin lanjutannya lagi dunk...


    @pengagum karyamu_Come ^^

    BalasHapus
  2. pan ganti cerita athu com. hehe

    BalasHapus
  3. hehe... sok athu ganti dui, com tiap hari mengunjungi blogmu, smeuanya telah habis kubca,. ayo bikin lagi.....

    come ^^

    BalasHapus
  4. lagi di rumah gag bawa laptop gag bisa ngblog T.T

    BalasHapus

hatur nuhun kana kasumpingannana :) mangga bilih aya kalepatan atanapi aya nu bade dicarioskeun sok di dieu tempatna..

Mijn Vriend