Kamis, 30 Juni 2011

Munah

Oleh: Anah Rohanah dan Syifa Azmy Khoirunnisa

Setiap melewati gang ini aku selalu tertarik pada sebuah bangunan di dalam sebuah kebun dengan pohon-pohon besar dan rindang. Kukatakan tertarik bukan karena bangunan itu indah, mewah, bermodel mutakhir, atau gaya arsitekturnya terkini, tapi bangunan itu adalah sebuah rumah berdinding anyaman bambu   tanpa cat atau pun kapur, ukurannya kira-kira 4x5 meter, beratap alang-alang, tampak kontras dengan rumah-rumah di sekitarnya, rumah-rumah modern penuh warna-warni. Dan penghuninya…. Seorang nenek tua renta, tampaknya ia hidup sendirian di rumah itu. Yang lebih mengesankan adalah kebersihan sekitar rumah itu, seakan tak pernah ada selembar daun pun diizinkan tergeletak di tanah pekarangan rumah itu.
Memang sering kulihat nenek tua renta itu getol menyapu halaman rumahnya tiap pagi dan sore. Dia tak pernah absen menyapaku jika aku kebetulan lewat di depan rumahnya. Seharusnya yang muda yang menyapa, tapi ini terbalik. Ada sedikit perasaan malu sesungguhnya aku.
Sayangnya, karena kesibukanku selama ini sangat menyita seluruh waktuku, baru hari ini aku melewati lagi gang ini dan melihat kembali rumah itu. Ada yang berbeda, pekarangannya tampak tak terurus, penuh dedaunan kering berserakan dan penghuninya tak kelihatan. Pemandangan ini tampak sangat berbeda dengan pemandangan yang biasanya terlihat olehku. Kukayuh lagi sepedaku dengan santai sambil menghirup segarnya udara sekitar, menyusuri pelosok kampung sekedar berolah raga ringan dan mencari keringat.
Namun belum berapa jauh aku beranjak dari gang tadi, terdengar teriakan seorang perempuan mengabarkan sesuatu,
“Munah ninggal Munah ninggal …!” aku menoleh ke arah suara itu, kemudian beberapa orang tampak mendekati sumber suara.
Ninggal? Mati, maksudmu?”
“Iya, mati!”
“Tapi kemarin lusa saya lihat dia sehat-sehat saja tuh….”
“Iya, benar, ayo kita melayat dan membantu-bantu apa yang bisa kita lakukan.”
Tak lama terlihat orang-orang semakin banyak keluar dari rumahnya menuju rumah…. Dan ternyata tujuan mereka adalah rumah kecil –lebih tepatnya gubuk- yang selalu menarik perhatianku setiap melewati gang itu. Gubuk nenek tua renta.
Karena masih penasaran, kucoba bertanya pada seorang ibu muda yang baru keluar dari rumah itu,
“Jadi,  nenek penghuni rumah ini sudah meninggal ya, Bu?”
“Iya, kebetulan tadi saya mau minta daun pisang buat mepes ikan, dipanggil-panggil tak ada sahutan. Karena penasaran, saya ketuk rumahnya, sepi. Akhirnya saya dorong saja pintunya, ternyata Munah terbaring di dipannya, saya pegang badannya, sudah kaku!” jelas ibu muda itu.
“Emang Ibu ini siapanya si nenek?”
“Saya bukan siapa-siapanya, cuma kebetulan saja rumah kami dekat, tuh rumah saya,” katanya sambil menunjuk sebuah rumah tak jauh dari tempat kami berdiri.
“Mari, saya mau pulang dulu, mau ambil beras dulu,” pamitnya dengan senyum ramah.
“O, iya, silakan, Bu.”
Sebagai manusia yang berperikemanusiaan, aku turut melayat meskipun tidak membawa beras seperti kebiasaan orang kampung, dengan beberapa rupiah yang ada di saku trainingku mungkin aku juga bisa turut menyatakan bela sungkawa. Kulihat wajah sang mayat yang keriput namun bersih. Kupanjatkan doa agar Sang Kholik mengampuni dosa-dosanya. Hanya itu yang dapat kulakukan, kemudian aku keluar rumah itu karena mulai banyak orang yang masuk ke dalam rumah.
Sambil kupandangi pepohonan di sekitar rumah kecil ini, kuperhatikan   orang-orang  mulai berbicara  ini-itu,  tapi  dengan  volume suara  rendah. Ada  yang bersungut-sungut jengkel, ada yang mengusap-usap dadanya, ada juga yang mengeleng-gelengkan kepalanya.
Sebagai manusia yang memiliki rasa ingin tahu tinggi, penasaranlah aku. Akhirnya aku mencoba menyadap pembicaraan mereka.
“Anaknya hidup jongjon-jongjon aja di rumah bagus, ibunya gak diperhatikan, dibiarkan tinggal sendirian, huh… Kalau saya gak bakalan membiarkan ibu saya begitu!”seorang pelayat wanita menggerutu.
“Aih, ari Bu Neni, atuh puguh, sayah oge kasihan ka indung mah, sudah tua, lagian kita juga masih mampu atuh kalau cuma nampung dan memberi makan satu orang mah, apalagi ibu kita sendiri….”
“Iya, kasihan sekali Nek Munah ya, buat makan mencari sendiri, tinggal di kebun orang, untung saja masih ada orang yang mau meminjamkan tanahnya untuk ditinggali,” timpal seorang yang lain.
“Dulu si nenek tinggal di pekarangan anaknya, kan?”
“Pernah, sangat singkat sekali. kemudian diusir gara-gara si nenek tidak mampu membayar listrik. Padahal cuma satu gantungan lampu lima watt saja,” jelas seorang bapak ikut merumpi dengan ibu-ibu.
“Emm…. Ada ya, orang setega itu pada orang tuanya! Padahal jika dibanding dengan jasa seorang ibu dari sejak mengandung, melahirkan, menyusui, merawat dan membesarkan, masalah bayaran listrik yang sepele tidak akan bisa menggantikan segalanya, seujung kotoran kuku yang melekat pun tidak.
Ibu-ibu yang lain tak kalah ingin menimpali juga. “Kok bisa gitu ya? Ckckck... amit-amit jabang oroook..... Anak-anak kita kelak semoga tidak seperti itu kelakuannya ya...”
“Iya, Bu... Iya, Buuu....” timpal yang lainnya.
Gerutuan semakin banyak, melebar kemana-mana, baik di kalangan ibu-ibu pelayat, maupun di kalangan bapak-bapak.
Ketika muncul seseorang, tiba-tiba suara-suara itu mereda, lalu berganti topik pembicaraan.
“Tuh, anak-anaknya mulai datang!” bisik seorang ibu dengan mengisyaratkan supaya diam.
Dari rundingan beberapa tetua dan keluarga almarhumah, akhirnya si mayat dibawa ke rumah salah seorang anaknya yang paling dekat.
Si mayat telah berpindah tempat, namun masih banyak orang berada di tempat itu, masih banyak gerutuan dan komentar bernada kecewa terhadap anak-anak almarhumah.
“Kalau sudah jadi mayat, baru deh diampihan,” kata ibu yang disebut Bu Neni.
“Iya, diampihan, kan sebentar lagi juga akan dikebumikan, tambah era weh eta mah, nya?! Atau emang dasar mereka tidak punya malu, ya.
Eh.. Eh... Eeehh... Ayo, Ibu-ibu... Kita bersihkan dulu rumah dan halamannya biar agak bersih kelihatannya, mbok ya dari tadi kok menggerutu saja… Sambil kerja, kita juga masih tetap bisa ngobrol,” seorang ibu yang lebih tua di antara mereka memimpin ke arah kebaikan.
“Coba tidak kesal bagaimana, Bu RT, sebel saya lihat anaknya, terutama yang rumah itu tuh…” ibu itu menunjuk pada sebuah rumah bercat biru muda.
“Iya, benar, biarlah Alloh saja yang memperhitungkan semuanya. Semoga almarhumah mendapat balasan yang terbaik dari-Nya, almarhumah orang yang baik, sabar, tidak mau merepotkan siapa pun. Walaupun dia hidup serba kekurangan, dia selalu tabah, dan yang terpenting… Dia juga salehah, tadi saya lihat, wajah almarhumah begitu bersih… Begitu pasrah… Sepertinya dia bahagia di akhir hayatnya,” jelas Bu RT.
Cukup sudah kupingku menyadap obrolan mereka dari mulai obrolan yang pedas, sinis, nyinyir, sampai yang bijak. Kulanjutkan lagi perjalanan dengan sepedaku, tapi bukan ke rute biasanya, aku harus pulang karena terik matahari sudah terasa cukup panas.
Oh... Perjalanan manusia… Bagaimana pun adanya, harus kembali, kembali pada-Nya. Kalau Nenek Munah telah pergi dengan wajah pasrah dan bening, seperti apa nasib kepergianku nanti?

Baiti jannati, Mei 2008
Finishing Yogyakarta 13 Mei 2011

2 komentar:

  1. nice stoty syifaaa...mnngingatkan kita kmnbali untuk berbakti kepada orang tua..btw ni true story yah ????

    BalasHapus
  2. iya kak, true story yang dimodifikasi menjadi karya :)
    nuhun kak tiyaa :D mari berbakti pada ortu!!

    BalasHapus

hatur nuhun kana kasumpingannana :) mangga bilih aya kalepatan atanapi aya nu bade dicarioskeun sok di dieu tempatna..

Mijn Vriend