Jumat, 25 Maret 2011

Awan di Pelupuk Mata Nisa

Tempat apa pula ini? Tak sudi nian aku membersihkan sekujur tubuhku di sini. Bagaimana mungkin seorang bangsawan kota sepertiku dapat berbaur dengan peluh keringat orang-orang udik yang tak mengenal bangku sekolah. Berbagi setetes embun pun enggan aku. Apalagi kalau harus bermanja-manja dengan hewan besar pembajak sawah. Ooh ini tidak mungkin. Lebih baik kau kembalikan saja aku ke peraduanku di seberang sana.
Pikirku tak henti mengapa ayah dan bundaku sampai hati melepas tangan anaknya yang masih belum bisa berjalan dengan kokoh ini. Terdampar dengat amat berat hati aku di tempat mukim bebuyutan. Huh!
“Awan, sudah belum mandinya?” tanya seorang gadis mengagetkanku.
“Oh, iya sudah, Nis. Mari kita bergegas ke gubuk,” jawabku.
Beruntung gadis desa itu adalah teman kecilku, Nisa namanya. Dulu bundaku sering membawa sertanya ke istanaku. Walaupun aku tahu Nisa adalah seorang pejuang pendidikan, tetapi entah mengapa tetap saja aku memandangnya sebagai seorang tak berpendidikan. Nyaris tak ada pembeda antara dirinya dan gadis-gadis desa yang lain. Sama-sama membuat kepalaku geli.
 Tak kurang dari 2 Km jarak dari Situ Saradan, tempat kami mandi tadi ke gubuk Ki Jaya. Habis sudah energiku terkuras oleh perjalanan yang memeras keringat. Desa yang sangat tertinggal, jauh dari peradaban. Sesungguhnya aku teramat benci berada di pemukiman seperti ini. Oh tidak, bagiku ini bukanlah sebuah pemukiman, melainkan tempat pembuangan zombie.
“Eh, Ujang Awan, parantos mandinya, Jang?” tanya Ki Jaya.
Ragam bahasa model apa itu. Sok tahu. Seenaknya menyisipkan bahasa kebanggaannya ke dalam bahasa Indonesia yang kujunjung tinggi. Berat hati membuka mulut untuk menjawab pertanyaan dengan bahasa aneh tersebut. Tetapi mau bagaimana lagi, aku akan menjawab sekenanya saja.
“Sudah, Ki,” jawabku acuh.
“Mari sekarang kita makan, Jang. Ujang pasti sudah sangat lapar, kan?”
Klise. Sudah tentu aku memang sangat lapar. Tidak berguna sekali kata-kata yang terlontar dari mulutnya. Kupikir semua orang itu lebih baik diam.
Mataku tak henti menerawang apa yang ada di balik semua kegiatan-kegiatanku sekarang. Aku merasa hilang tertelan tumpukan awan yang sebenarnya. Ini bukan aku. Aku tidak pernah sekalipun menurut apa kata bundaku. Mengapa sekarang tubuhku tertarik oleh sosok Nisa? Apa penyebab semua ini? Benarkah sangkaku bahwa Nisa telah menyihirku? Kegilaan level pikiran yang sedang melintas 5 Cm di depan rupaku.
Hari ini aku harus bermuka badak, bertelinga kuda nil dan berparas seperti orang utan. Untuk kali ini saja aku akan belajar berbakti pada bundaku, dengan bertahan di sini.
Ya, aku harus selalu melangkah setapak demi setapak di tempat pembuangan ini bersama Nisa.
“Nis, kamu hari ini sekolah, bukan?
“Iya, Wan. Apa yang membuat kamu menembakkan pertanyaan itu kepadaku?”
“Baiklah. Aku akan mengikutimu. Kau harus berkenan dengan titahku.”
Nisa membuatku heran. Seketika itu juga Nisa langsung menyunggingkan senyumnya padaku. Aaah... aku tidak akan goyah. Lihat saja aku pasti bisa menaklukkan gubuk Ki Jaya, bahkan Situ Saradan pun akan bisa kutaklukkan.
Kolam ikan di hadapanku telah keruh airnya dibuatku. Aku bosan, aku ingin pulang, sampai-sampai aku berbisik pada Tuhanku bahwa aku ingin sekali menangis. Namun aku lelaki, aku sang saudagar kaya pewaris tahta. Jangan sampailah dunia melihatku menitikkan setetes air mata. Karena itu akan semakin membuatku terpuruk.
Tepaksa aku harus mulai berkenalan dengan alam sekitar. Aku mengamati, menatap, hingga aku tidak bisa menahan lubuk hatiku yang paling dalam mengumandangkan bahwa alam ini begitu syahdu. Kicauan burung di atas sana mungkin adalah jawaban atas kumandang lubuk hatiku. Mereka bersahut-sahutan dengan mesra, merasakan setiap kepakan sayapnya di awan dengan penuh syukur. Aku takjub memandangnya. Lambat-laun ternyata aku iri. Lihat saja, awan, ikan, burung dan alam ini kelak akan kujadikan saksi, aku lah Awan sang penguasa jagad raya.
 Lamunanku telah terlampau jauh melayang. Aku teringat lagi akan Nisa. Sudah pulangkah dia? Kucoba mengintip dari balik jeruji sekolahnya.
“Dooor! Sedang apa di sini, Wan?” candanya dengan penuh tawa.
Tak kuhiraukan candaannya. Aku benci hal seperti itu. Kulangkahkan kaki jauh di depan Nisa. Lagi-lagi gadis itu beruntung karena bukan tanganku yang kuayunkan, melainkan kaki yang kulangkahkan.
Kini yang terlihat di depan gubuk sama sekali jauh dari bayanganku. Seadegan pun tidak ada yang sama. Ritual macam apa lagi yang akan kulihat sekarang? Langkahku terhenti. Aku menoleh ke belakang ternyata Nisa tertinggal sangat jauh di belakangku. Aku mundur teratur mendekati Nisa. Tetapi  memang fitrahnya langkah perempuan itu seperti ayam kalkun, aku tak sabar. Kupercepat langkahku menghampiri Nisa, kutarik dia segera ke depan gubuknya.

to be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

hatur nuhun kana kasumpingannana :) mangga bilih aya kalepatan atanapi aya nu bade dicarioskeun sok di dieu tempatna..

Mijn Vriend