Senin, 30 Desember 2013

Ki Tambleg, Ikon Konservasi Kabupaten Subang

Sudah lihat ki tambleg sebelumnya? Kalau belum mangga diklik dulu yang ini :) --> ki tambleg di Wisma Karya dan ki tambleg di Desa Manyingsal.

Nah yang di sini niiih ki tambleg di Perum Sang Hyang Seri Ciasem. Di sana juga ada tiga pohon. Pertama masuk ke area perum, mataku langsung tertuju ke sebelah kanan, itu ki tambleeeg!! Letaknya ada di belakang rumah, di dekat kebun bercocok tanam. Besaaaar sekali. Lewatnya saja merinding, itu pohon raksasa bener. Hahaa... Aku juga sampai bingung harus mengambil foto dari sudut mana. Akhirnya aku meminta izin pada bapak pemilik kebun, dan blusukan demi mengambil foto ki tambleg. Hehe...

Kata bapak pemilik kebun, pohon yang di dekat kebunnya lah yang paling besar. Penduduk setempat menyebutnya pohon asem buta. Karena buahnya yang asam dan pohonnya yang sebesar buta (mungkin buta ijo). Dari jauh, buahnya terlihat seperti buah campedak. Kata bapak pemilik kebun lagi, buahnya sebesar pepaya. Sayang kamera tidak bisa menangkapnya karena letak buahnya terlalu tinggi. Sejak dilakukan penelitian terhadap ki tambleg, jadi banyak orang rebutan buah dan benih ki tambleg loh.. Katanya ki tambleg berkhasiat dari ujung akar sampai ujung daun.

Pohon yang kedua berada di dekat lapang perum, di belakang puskesmas perum. Pohonnya cantik, benar-benar seperti bonsai. Andai itu memang bonsai sudah pasti kan kubawa pulang deh :D Pohon kedua ini dipagari, dan di sana ada batu pengesahan ikon konservasi dari Universitas Indonesia. Difoto dari berbagai sudut pun, pohon yang kedua tetap cantik. View pohon kedua memang yang paling enak untuk foto-foto.

Pohon yang ketiga tidak sengaja aku temukan. Ketika aku sudah akan pulang sambil mengitari sekeliling perum, eeh di salah satu sudut perum ada lagi ki tambleg. Beruntungnya aku... Di pohon ketiga aku bisa melihat bunga ki tambleg. Bunganya... Aah, cantik dan besar sekalii. Bunganya seperti bunga jambu air tapi yang ini versi raksasa. Atau mirip juga dengan ubur-ubur :)
the biggest ki tambleg in Perum Sang Hyang Seri & the biggest i ever seen
pohon kedua
pohon ketiga
bunga ki tambleg, dengan background batang ki tambleg
Mohon doanya yaa temaan... Ketiga postingan Ki Tambleg, Ikon Konservasi Kabupaten Subang ini diikutsertakan dalam #LombaFotoKiTambleg :)

Ayo siapa yang mau bertemu ki tambleg di Subang? Yuk wisata ke Subang dong ah! ;)

Lokasi: Perum Sang Hyang Seri, Ciasem, Subang
Waktu pengambilan foto: Kamis, 26 Desember 2013 / +/- pukul 13.00-14.00 WIB
Kamera: digital camera Nikon & SLR Nikon

Fotografer: Syifa Azmy Khoirunnisa
Alamat: Sakurip Desa Tanjung RT 07/03 Kecamatan Cipunagara Kabupaten Subang
No. Hp: 08997185407
Status: Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik Universitas Diponegoro
Twitter: @famysa_

Ki Tambleg, Ikon Konservasi Kabupaten Subang

Setelah hunting ki tambleg di Wisma Karya, perburuan selanjutnya adalah ke Perum Sang Hyang Seri Ciasem. Dan keesokan harinya ke Desa Manyingsal. Nah kali inii, di postingan kedua ki tambleg, aku akan berbagi foto di Desa Manyingsal terlebih dahulu. Ki Tambleg di Perum Sang Hyang Seri diskip dulu untuk ditampilkan di postingan berikutnya, biar surprise :)

Pertama kali memasuki Desa Manyingsal, aku disambut oleh tiga pohon ki tambleg yang berjejer cantik di pinggir jalan. Ketiganya besar-besar. Namun sayangnya ada satu pohon yang tidak bisa kutampilkan fotonya di sini karena di satu pohon itu ada tukang bakso yang sedang mangkal, ada sampah, dan ada banyak bekas tebangan di sana-sini. Pohon yang ketiga jadi terlihat kecil dan kotor. Selain pohon ketiga, pohon pertama dan kedua juga ditempeli oleh poster-poster caleg. Aduuh, Pak, Bu.. kampanye mbok yo di tempatnya thoo... Ki tambleg kan sudah jadi ikon konservasi Kabupaten Subang, masa iya dipakai space untuk kampanye.
 
ketiga pohon ki tambleg berjejer cantik

Oh ya, nama bahasa Indonesianya pohon ki tambleg adalah baobab. Nama latinnya adalah adonsonia digitata. Pohon ini berasal dari Afrika dan Australia. Di Indonesia banyak tumbuh, terutama di Kabupaten Subang. Makanya dijadikan ikon konservasi Kabupaten Subang. Bahkan, ki tambleg yang di Universitas Indonesia juga dibawa dari Subang loh. Hebat yaa, Subang... kudu bangga yeuh jadi urang Subang boga ki tambleg! :) Jika dilihat sekilas, ki tambleg ini mirip dengan pohon oak. Tinggi, besar, bentuk daunnya seperti bunga, rimbun, seram, eksotis. Tapiii... kalau dilihat lagi ya jelas beda. Epidermis batang ki tambleg halus, tidak bersisik seperti batang pohon oak. Daun pohon oak juga lebih besar dari daun ki tambleg.

Sudah puas atau masih penasaran dengan ki tambleg berikutnya niiih? :D Masih ada satu postingan ki tambleg looh.. Yang paling besar bakal ada di sana. Simak terus yaa! ;)

Lokasi: Desa Manyingsal, Cipunagara, Subang
Waktu pengambilan foto: Jumat, 27 Desember 2013 / +/- pukul 11.00-12.30 WIB
Kamera: digital camera Nikon & SLR Nikon

Fotografer: Syifa Azmy Khoirunnisa
Alamat: Sakurip Desa Tanjung RT 07/03 Kecamatan Cipunagara Kabupaten Subang
No. Hp: 08997185407
Status: Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik Universitas Diponegoro
Twitter: @famysa_

Sabtu, 28 Desember 2013

Ki Tambleg, Ikon Konservasi Kabupaten Subang

Begitu tahu ada lomba foto ki tambleg yang dipublikasikan oleh @inposbg, aku langsuuung bertanya ke Mbah Google bagaimana wujud si aki tersebut. Aku berselancar ke sana-ke mari mencari kediamannya. Setelah tahu siapa itu ki tambleg dan dimana saja ia tinggal, rencana mendadak pulang pun segera diagendakan. Padahal baru seminggu sebelumnya aku pulang, eeh hari Rabu kemarin aku nekat pulang lagi hanya demi ki tambleg yang membuatku penasaran.

berbekal foto ki tambleg yang kudownload dari internet, informasi kediamanannya yang sudah kucatat, kamera digital & SLR pinjaman, serta tekad yang sekuat baja, meluncur lah aku ke Subang. 
Sebelumnya kuceritakan dulu niat hunting foto ki tambleg pada mamah. Mamah bertanya-tanya, siapa itu ki tambleg? Mamah tidak pernah mendengar nama pohon itu sebelumnya. Namun setelah kuceritakan ciri-cirinya, mamah bilang mungkin mamah pernah melihatnya di Perum Sang Hyang Seri Ciasem dan di Desa Manyingsal. Bingo!! Pas seperti informasi yang kudapat dari internet, dan mamah sendiri pernah melihatnya. Maka tidak usah diragukan lagi, di dua tempat itu pasti akan kutemukan ki tambleg. Lalu bagaimana dengan Wisma Karya? Di sebelah mana ki tamblegnya berada? Aku dan mamah tidak pernah melihatnya di sana.

Daripada terus memendam penasaran, lebih baik aku membuktikannya sendiri. Lokasi pertama yang menjadi target perburuan adalah Wisma Karya Subang. Dan ini lah hasilnya... Ki tambleg anak-anak ada di sana. Hihihi...
 
Benar kata mamah, pohon ki tambleg memang mirip dengan pohon randu/kapuk. Bedanya, daun ki tambleg lebih bulat dan gemuk, sedangkan daun randu/kapuk panjang. Serta batang pohon ki tambleg berkali-kali lebih gemuk dari pohon randu/kapuk. Epidermis batang pohon ki tambleg juga halus, tidak kasar dan bersisik seperti pohon lainnya. Warnanya abu kehitaman. Gagah sekali. Apalagi kalau sudah besar, sepertinya ki tambleg yang di Wisma Karya akan menyeramkan nan eksotis. Kata mamah juga, pohon ki tambleg seperti bonsai raksasa. Indah dan nyeni.

Mau tahu pohon Ki Tambleg lainnya? Mau tahu yang lebih besar? Simak terus postingan berikutnya yaa :D

Lokasi: Wisma Karya, Subang
Waktu pengambilan foto: Kamis, 26 Desember 2013 / +/- pukul 10.00-10.30 WIB & Sabtu, 28 Desember 2013 / +/- pukul 09.45-10.10 WIB
Kamera: digital camera Nikon & SLR Nikon

Fotografer: Syifa Azmy Khoirunnisa
Alamat: Sakurip Desa Tanjung RT 07/03 Kecamatan Cipunagara Kabupaten Subang
No. Hp: 08997185407
Status: Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik Universitas Diponegoro
Twitter: @famysa_

Minggu, 22 Desember 2013

Lika-liku Anak Gaul Jakarta

Perjalanan menuju Ibukota dua minggu yang lalu benar-benar menguras bak mandi *eh, emosi maksudnya. Berbekal tekad ngebolang yang sangat tinggi, walaupun tak ada cukup bekal (baca: duit deeh -_-) dan persiapan, aku tetap keukeuh pergi. Sebenarnya perjalanan kala itu berawal dari ajakan temanku, Azizah untuk mengikuti acara NCDA (next post insya Alloh akan kuceritakan). Tapi yang terpikirkan olehku justru perjalanannya, bukan acaranya. Hahaha dasar cah gemblung :P Bahkan kubilang pada Zizah, "lolos atau pun tidak, aku akan tetap ikut ke Jakarta." weks.. Sampai Zizah bertanya, "yakin, Cip? Emang ada dananya?" Hahaha sangsi gitu deh Zizah... Dan ternyata aku lolos! aku diterima menjadi peserta NCDA itu. Aaah senangnya... Setidaknya akan ada sangu dari bapak untuk acara tersebut :D Alhamdulillah niat ngebolangku diridhoi oleh Alloh. Ngebolangku kan tidak sekedar hura-hura, tapi ngebolang yang harus mendatangkan ilmu baru.
nasgor di KA Tawang Jaya
Kami berangkat hari Kamis, 5 Desember lalu naik kereta ekonomi AC Tawang Jaya (sing murah-murah wae.. sing penting nyampe di tempat tujuan dengan selamat :D). Hari yang penuh emosi. Bukannya bersiap packing, siang harinya aku masih sempat-sempatnya ke kampus untuk mengambil revisian skripsi dan Zizah juga akan menghadap dosen pembimbing magangnya. Ditongkrongin di depan ruang jurusan sampai jam tiga sore lebih, dosen pembimbing magang Zizah tak juga datang. Akhirnya kami pun pulang dan packing. 
Langit sudah mendung pertanda akan segera turun rintik-rintik air dari langit. Kami yang tadinya mau berangkat jam lima sore, harus mengulur waktu karena Ayu yang akan mengantarkan kami ke stasiun belum juga pulang kuliah. Hingga akhirnya Ayu baru pulang ketika aku selesai solat maghrib plus isya (dijamak). Aku sudah posisi siap di motor. Eh lalu Isna (yang mau nganterin juga) bilang dia ingin pulang ke kosannya dulu. Baah.. Karena panik, aku langsung terpikir untuk pergi duluan ke stasiun dengan Zizah. Nanti Ayu dan Isna menjemput motor di stasiun. Kunci, STNK, dan tiket parkirnya akan kutitipkan pada satpam. Dan berangkat lah aku dengan Zizah. Wuuusss..... 
Sesampainya di Stasiun Poncol, kami masih punya waktu 15 menit untuk menunggu Ayu dan Isna. Tik tok tik tok, 10 menit berlalu. Mereka belum juga tampak batang hidungnya. Kereta kami akan segera lepas landas lima menit lagi! Niat awal akan menitipkan kunci, STNK, dan tiket parkir ke satpam tidak jadi kulakukan. Entah kenapa aku ragu. Terlebih karena sorot mata Zizah yang sepertinya berkata, "jangaan.. jangan dititipkan ke satpam. Itu motor orang (motor Ayu yang kubawa). Taruhannya jutaan duit." Hehe...
Dalam keadaan hati dag-dig-dug tak karuan, antara takut terlambat kereta atau takut motornya hilang, tiga menit sebelum kereta berangkat, Ayu pun datang. Whuaa... Adegan yang dramatis. Kunci, STNK, dan tiket parkir kuserahkan pada Ayu. Tidak ada ciuman perpisahan antara kami. Aku hanya mengucapkan terima kasih dan dadaah sambil tergesa-gesa masuk ke antrian penumpang.
sok-sokan vegetarian dinner at d'Cost , padahal ngirit :P
Beberapa saat di kereta, ada yang membuat kami merasa terganggu. Bapak yang duduk di sebelahku mengambil jatah bangku terlalu luas. Bapak itu membuatku terdesak ke Zizah. Saking luasnya jatah yang diambil si bapak, sampai ada bapak lain yang lebih kurus duduk di sebelah bapak itu! Bangku jatah tiga orang terisi empat orang dong, woow!! Aku dan Zizah yang menderita. Huahuaa :'( Zizah pun berusaha menegur bapak-bapak itu. Setelah teguran, bapak yang kurus kembali lagi ke bangkunya yang dipakai tidur oleh anaknya. Bapak sebelahku pun agak bergeser. Aah... Lumayan legaa... 
Tapii... terguran itu tidak bertahan lama sepertinya. Si bapak kembali mendesakku lagi. Perlahan namun pasti ia bergeser terus ke arahku sambil pura-pura tidur pulas. Kami benar-benar merasa terganggu. Kenapa si Bapak cenderung bergeser ke arahku? Padahal sebelah kirinya masih ada space tersisa. Dalam keadaan tak nyaman kami terus mencari ide. Menegur sudah, menyindir sudah, bergerak tak nyaman sudah, kultwit juga sudah *eh :P. Sampai akhirnya Zizah punya ide 'baca Al-Quran'. Hahaa... Dan karena Zizah sedang berhalangan, jadi hanya aku yang membaca. Keras-keras kubaca, sekeras yang kubisa. Ketika sampai di lembar ketiga surat Al-Kahfi, si bapak pun pergi, dan tak pernah kembali lagi. Bwahaha... berasa ngusir setan gak sih? *oops :D Alhamdulillaaah kami senang sekali bisa duduk dengan layak.
Kami sampai di Stasiun Pasar Senen Jakarta sekitar pukul empat pagi. Lalu kami naik taksi ke rumah Zizah di Tanjung Priuk. iya, si Zizah emang anak Jekarteh :) Sesampainya di rumah Zizah, setelah solat subuh, kami langsung tiduuurrr untuk menyiapkan tenaga. Sore harinya kami akan ke Kuningan, ke lokasi acara NCDA. 
Sekitar pukul setengah lima sore, kami sudah siap berangkat ke Kuningan. Kami berjalan menyusuri gang, melewati jalan tikus agar cepat sampai ke jalan raya, lalu kami naik metro mini sampai ke halte Trans Jakarta (TJ) terdekat, dan naik lah kami ke TJ. cerita baru pun dimulai di sini. 
Dalam penuh sesak di TJ, aku mencoba untuk tetap menyeimbangkan tubuhku. Lama-lama, entah sejak kapan aku kurang sadar, ada bapak-bapak yang gelagatnya mencurigakan di belakangku dan Zizah. Si bapak berdiri di antara kami. Tangan kirinya pegangan ke pintu TJ, seperti sedang berusaha mencari posisi agar bisa merangkulku. Lama-lama si bapak makin mencurigakan. Padahal dia bisa pegangan ke pintu TJ yang terdekat dengan tubuhnya, tapi ia maksa pegangan ke arah samping depannya, ke arahku! Sekarang aku tidak bisa tinggal diam. Belum hilang rasa tak nyaman di kereta, eh ini sudah ada lagi bapak yang cabul di TJ --" Aku mengambil jarum pentol di tasku, kupegang jarum itu erat-erat untuk jaga-jaga. Jika bapak itu berusaha merapatkan tubuhnya ke tubuhku, aku tak akan segan-segan menusuknya. Hahaha... *otak iblisnya keluar. Habisnya si bapak cabul banget, busnya goyang saja tidak, tapi si bapak cari-cari posisi seolah terdesak terus. Huh!
Sebelum aku berhasil menusuk si bapak, sepertinya si bapak sudah sadar duluan kalau aku memegang jarum. Akhirnya tangan kiri si bapak menjauh dariku. Si bapak bergeser ke sebelah kanan. Dan ooohh... Ia berganti mangsa... Kali ini ke Zizah. Duuh aku jadi semakin tidak nyaman. Perasaan tak karuan. Pegalnya kaki menahan beban tubuh yang terus berdiri dan macet-macetan tidak seberapa dibanding ketidaknyamanan hati ini :'(
Tiga jam perjalanan Priuk-Kuningan telah kami lalui. Transit sana transit sini, jalan dari satu halte ke halte lain di tengah guyuran hujan, pergulatan hati yang tak menentu. Oooh... so dramatical journey... 
Di Kuningan, kami menginap di kosan Rizka, di daerah Menteng Atas, tetangganya Rasuna Zone. Keluar dari halte TJ, kami langsung disambut oleh semacam mall. Berbagai macam tempat makan yang agak mahal (bagiku) berderet di sana. Baah.. Langsung saja aku membayangkan bagaimana kerasnya kehidupan Rizka di sana. Di tengah gedung-gedung pencakar langit, di tengah tempat ngehedon, ckck... apa jadinya kalau aku yang kuliah di daerah sana. Kecekik kayaknya aku. hahaaa *lebay.
Di perjalanan menuju kosannya, sambil berjalan kaki, Rizka bilang, "Kak, nanti jangan kaget ya.. Kita ini masih di surga, mau jalan ke neraka." Awalnya sih aku tidak terlalu mengerti apa yang Rizka maksud. Tapi setelah kami melewati pintu kecil setelah apartemen-apartemen parlente itu, taddaaa.... di sana lah Menteng Atas. Sangat jauh berbeda dengan kondisi tetangganya. Haduuh... Begitu yaa Jakarta. Seperti yang kulihat di foto-foto. Dan kemarin aku melihatnya langsung. Hmm... Suatu ketimpangan yang menarik untuk dipandang :)
Satu gedung yang membuatku tak berhenti takjub di kawasan Rasuna adalah Bakrie Tower. Katanya sih itu gedung tertinggi di Jakarta, kurang lebih 60an lantai. Tapi bukannya mau ada yang menyaingi yaa... Pertamina Tower :P Desain luar Bakrie Tower itu meliuk-liuk, berwarna abu tua, seperti ular raksasa. Aaaak.... Lama-lama diperhatikan seram juga aku melihatnya. Dia gagah berdiri. Aku tak berhenti ingin melihatnya. Keren! Tapi seram karena seperti ular, meliuk-liuk dan bersisik. Hiiiyy... Di Semarang mah boro-boro ada gedung setinggi dan sekeren itu. Hotel tertinggi saja 30 lantai doang. Maklum nih eike anak kampung, biasanya main ke sawah, laut, atau hutan, kali ini main ke Ibukota, Rasuna Said pula! Gimana mata ini mau berkedip coba... Ckck... 

Selama dua hari di Kuningan, aku dan Zizah harus berjalan kaki berkilo-kilo meter dari kosan ke halte, dari halte ke halte, dari halte ke USBI (tempat berlangsungnya acara NCDA), dan begitu pun sebaliknya. Akhirnya... apa yang terjadi? Hari Senin, di Priuk, sepulang dari Kuningan, rencana awalnya sih aku ingin berkeliling Jakarta, ingin merasakan jadi Anak Gaul Jakarta (AGJ) gituu, tapi itu batal blasss akibat kami kecapekan. Hahaha... 

Hari Senin sore, Welly datang menjemputku di rumah Zizah. Jauh-jauh dari Slipi Jakbar ke Priuk Jakut doong Welly, hanya demi aku :P *eits Welly itu koncone aku, konco Timeless, bukan TTM seperti sangkaan umminya Zizah yaa :D Welly mau mengantarku membeli oleh-oleh kaos Jakarta di Monas, sekalian mengantarku ke Stasiun Pasar Senen. Dan kereta Tawang Jaya pukul 22.10 WIB akan membawaku kembali ke Semarang :)
akhirnyaa bisa difoto dengan background Bakrie Tower :D
Perjalanan kemarin menyisakan bekas yang teramat melekat. Lemnya terlalu kuat, jadinya terus melekat deh. Mulai dari awal perjalanan sudah tak terlupakan. Terlebih lagi pengalaman di kereta dan TJ, berjalan kaki berkilo-kilo meter, merasakan ganasnya nyamuk Priuk, motoran di Jakarta sama Welly -nyelip sana, nyelip sini, whuaaa...-, towaf di Monas -hahaha :D-, menginjakkan kaki dan menghaturkan sujud sembahku pada-Nya di Masjid Istiqlal. That all was my first time be AGJ! 
Ada banyak pelajaran yang kudapatkan dari sana. Pelajaran yang tidak akan pernah kudapatkan jika aku tidak menempuh perjalanan itu. Bahwa belum semua laki-laki menghargai wanita, dan ternyata ibu tiri sama sekali tidak lebih kejam dari Ibukota. Hahaha... 

Jakarta; angkutan massal, rawan pelecehan terhadap wanita. kendaraan pribadi, macet dan polusi. Jakarta; di kanan surga, di kiri neraka. Rasuna Said dan Menteng Atas. Jakarta; begitu banyak orang yang tergoda mengecupnya. Entah pahit atau manis, yang penting mencicipi. Jakarta; apa yang akan terjadi padamu di akhir cerita. sad ending? atau happy ending? atau open ending? Jakarta; jika aku boleh meminta pada-Nya, aku tidak ingin berjodoh denganmu. Cukup gemerlap cahayamu saja yang kurasai. Jakarta; well, it's truly amazing city in this world. It's my country, Indonesia! 
dalamnya Masjid Istiqlal
Ngebolang bukan berarti menghambur-hamburkan uang. Karena banyak hal yang kita dapatkan dari ngebolang, hal yang lebih dari sekedar uang. Setiap kali ngebolang, aku pasti mendapat teman baru, mengukir kenangan baru, mengantongi pengalaman baru, menjumpai tempat baru, menemukan ilmu baru, mendengarkan obrolan baru, dan tentunya aku bisa lebih banyak menulis dan bercerita pada orang-orang di sekelilingku. Semua hal yang kudapat dari ngebolang tidak bisa dibeli dengan uang. Satu kali terlewatkan ngebolang tidak bisa digantikan oleh ngebolang yang lain, karena pasti momen dan ceritanya sudah berbeda. 

Aku ingin menciptakan banyak momen. Aku ingiiiin mendapatkan banyak-banyak-banyak hal dari setiap perjalanan. 
Agar seimbang bermain sepeda, kita harus terus mengayuhnya bukan? ;)

Semoga Tuhan mengijinkan kaki ini untuk terus melakukan perjalanan tanpa kenal lelah dan menyerah :)


si Famysa, tukang ngebolang :D

Jumat, 20 Desember 2013

Eksotisme Desa Tembi #BN2013

Sebelum lanjutin baca, sudah baca cerita sebelumnya belum nih? Kalau belum, baca dulu deh ah biar nyambung ;). Nih --> Stories Behind the #BN2013

Naah sekarang kalau sudah baca cerita sebelumnya, yuk ah lanjut baca yang ini...

Once upon a time.... in the village, called Tembi Village...
~~selamat membaca... ^_^~~
Konon kata Pak Petrus, Desa Tembi ini dulunya adalah desa tempat mendidik para raja dan keturunannya, juga abdi dalemnya. Sampai sekarang, banyak pemimpin-pemimpin bangsa yang menimba ilmu di Desa Tembi. Contohnya SBY dan Jokowi. Bahkan hampir semua public figure Indonesia pernah datang ke Desa Tembi.
Pak Petrus sampai bertanya penuh tantangan padaku, juga pada Teh Titin dan Mbak Mesha yang kebetulan ikut menyimak. “Coba kamu mau tanya artis siapa, yang sudah terkenal, sebutin aja.. Dia pasti sudah pernah ke sini.” Mendengar itu langsung dong tepikirkan Agnes Monica di otakku. “Agnes Monica, Pak?”, dan jawaban bapaknya begini, “shooting sinetron Pernikahan Dini kan di sini. Tuh di depan rumah saya salah satu lokasinya.”
Lalu bergantian Teh Titin dan Mbak Mesha yang bertanya. Ketika Mbak Mesha bertanya salah satu sutradara terkenal (aku lupa namanya. Siapa ya, Mbak? :P), Pak Petrus menjawab begini, “ah masa sih sudah terkenal tapi belum ke sini? Itu paling juga tidak akan bertahan lama ketenarannya.” Nah loh?!
Banyak sekali figur yang kami sebutkan dan memang Pak Petrus menjawab figur tersebut sudah pernah ke Desa Tembi, entah itu sekedar berkunjung atau stay di sana. Ada juga satu figur terkenal yang kami tanyakan, Pak Petrus menjawab begini, “dia belum ke sini. Mungkin nanti kapan-kapan.” Nah loh, aku jadi bingung. Apa bedanya dengan sutradara di atas? Jika aku menyimpulkan, seolah yang satu “tidak akan bertahan lama kesuksesannya”, sedangkan satunya “ada harapan untuk sukses dan bertahan.” Dari mana bisa membedakannya ya? Hmm *geleng-geleng ora mudeng.
sarapan pembuka di Petrus Homestay
Pak Petrus juga menegaskan bahwa orang-orang yang pernah datang ke Desa Tembi dan memiliki niat baik, ia pasti akan mendapat keistimewaan, dalam bentuk apapun. Sedangkan jika ada orang yang memiliki niat buruk, ia pasti akan mendapat keburukan juga.
Contohnya suatu hari ada pencuri pakaian (dari jemuran) yang datang pada malam hari. Belum sempat si pencuri itu kabur, ketika sampai di ujung Desa Tembi, si pencuri malah tertidur di pinggir sawah. Ya sudah lah, ketahuan esok paginya. Pun ketika ada pencuri sepeda motor datang dan menjalankan aksinya di malam hari, endingnya juga sama. Si pencuri malah tertidur di pinggir sawah ujung desa itu. Atau ketika ada petugas listrik yang datang dan ingin menebang pohon di Desa Tembi demi perbaikan listrik. Namun proyek perbaikan listrik tersebut tidak berjalan lancar. Hingga beberapa hari kemudian petugas listrik datang kembali dan meminta maaf. Baru lah proyeknya lancar.
Wow, sesuatu ya... Sepertinya aman tinggal di Desa Tembi :)
buah raja
Ada juga kisah tentang pohon buah raja yang langka. Saking langkanya, pohon itu hanya ditemukan di Desa Tembi. Buahnya enak (alhamdulillah aku beruntung bisa mencicipi :D), rasanya seperti campuran antara buah lengkeng, delima, dan entah apa lagi. Rasanya random. Seperti sudah tidak asing lagi di lidah, tapi yaa asing juga ternyata. *gimana sih? -__-
Pohon tersebut konon tidak bisa tumbuh di tempat lain jika tidak ditanam oleh penduduk Desa Tembi asli. Misalnya aku sebagai pengunjung meminta benih pohon itu dan menanamnya di rumahku di Subang, benihnya tidak akan pernah tumbuh. Berbeda jika misalnya Pak Petrus merantau ke Subang dan menanam benih pohon buah raja di sana. Benihnya pasti akan tumbuh. Yaa begitu lah.. Pohon istimewa untuk desa yang istimewa :)

Selain banyak berkisah tentang Desa Tembi, Pak Petrus juga berbagi pengalamannya di dunia bisnis. Mulai dari bisnis kerajinan tangan, minuman olahan rempah, hingga batik. Ketika mendengar beliau pun berbisnis batik, wuiiih telingaku kuat sekali mendengarkan. Senang sekali rasanya Pak Petrus juga mengapresiasiku yang sedang belajar bisnis. Apalagi bisa melihat-lihat koleksi batik beliau juga. Rasanya senaaang sekalii... Aku bisa tahu keindahan batik lebih banyak :) Katanya mumpung masih muda, belajar bisnis terus.. Sungguh ini merupakan suatu motivasi bagiku. Ketika bapakku tidak bisa mengapresiasi usaha bisnisku, ada Pak Petrus yang menguatkan. Hihihi... I’m so happy, really :D
Terima kasih banyak sudah banyak berbagi, Pak... :)
Kearifan lokal Desa Tembi membuatku jatuh cinta dan ingin datang lagi ke sana.. Rasanya seperti waktu aku ke Bali, seperti waktu aku mendengar kisah kearifan lokal Bali dari temanku yang memang berasal dari Bali. Ah, mungkin kapan-kapan akan kutuliskan di sini juga tentang kearifan lokal Bali :)

Tembi, tunggu aku mengunjungimu lagi... Tembi, semoga keistimewaanmu melekat juga padaku... :D

By. Si Famysa, cinta budaya

Mijn Vriend