“Aki! Apa-apaan ini? Apa yang sedang kalian semua lakukan di sini?” hardikku.
“Euleuh-euleuuuh... Jang Awan sudah pulang. Ini loh, Jang, Aki sedang memberi petuah pada penduduk sini supaya jangan ada yang melanggar pamali.”
“Pamali?? Apa itu pamali, Ki? Lantas mengapa harus di gubuk ini? Sudah gubuk reot, datang tamu-tamu kumal pula. Aku tidak suka.”
Aku marah. Otakku mendidih oleh perilaku Ki Jaya dan reng-rengannya. Tak sempat aku menyalak semua orang, Nisa membawaku lari ke puncak. Terengah-engah nafasku. Sungguh aku semakin tidak mengerti apa yang dilakukan Nisa. Lama-lama dia membuatku mabuk akan tingkahnya.
“Wan, tak usah kau berlaku sedemikian rupa kepada bapakku. Izinkan aku yang akan menjelaskan semuanya padamu,” lirih Nisa dengan nafas terpotong-potong dan mata berkaca-kaca.
Namun aku hanya diam bak seekor kucing terperangkap di sarang anjing, tidak bisa kujawab pertanyaan Nisa. Entah itu adalah pertanyaan atau penegasan, aku sudah tidak bisa lagi membedakannya. Otakku yang tadi mendidih sekarang kurasa telah membeku.
Tanpa kusadari kini aku telah berlari berpaling dari tempat Nisa berdiri. Jauh di belakang sana Nisa mengejarku susah-payah. Rok sekolah dan kerudung lebarnya menghambat pemburuannya terhadapku. Aku lolos dari buruan Nisa. Dan lelah yang juga memburuku membuat tubuhku tak lagi berdaya, aku terkulai lemas di samping gubuk Ki Jaya.
======================================================
“Wan... Awan... Bisakah kau melihat jari tanganku melambai-lambai?”
Perlahan aku membuka mata. Lemas sekali. Di depanku terpatung sosok cantik Nisa yang sedang mengkhawatirkanku. Aku mendengar dia bicara, aku merasa dia meraba, dan aku terbangun olehnya.
“Ii.. Iya, Nis. Aku melihatnya. Bahkan aku bisa menatap parasmu.”
“Oh, Tuhan, syukurlaaah.... Akan kupanggil bapak dan ibuku dulu.” Nisa lalu pergi, dan tak lama dia datang lagi membawa serta bapak dan ibunya ke hadapanku.
“Apakah Jang Awan teh baik-baik saja?” tanya Ki Jaya dan Ni Jaya kepadaku.
“Saya lelah, Ki, Ni. Perkenankan saya untuk beristirahat saja hari ini. Saya mohon jangan bawa saya ke ritual aneh apapun lagi.”
Aku memejamkan mata, dan sekejap saja langsung tertidur pulas. Satu-persatu mereka meninggalkan ranjangku. Namun sepertinya aku merasa ada sorot mata yang terus memandangiku. Entah siapakah itu. Mungkin bidadari surga yang akan membawaku terbang tinggi kembali menuju istanaku.
Suasana di gubuk begitu hening kurasakan. Anganku melayang ke ruang waktu di masa aku kecil 10 tahun yang lalu. Aku berlari ke sana ke mari. Aku tertawa riang tanpa beban yang menggelayutiku. Hingga akhirnya sampai pada satu titik ingatan, tentang dia, tentang Nisa, tentang tempat antah-berantah ini, tentang aku yang ternyata merindukan masa itu.
======================================================
“Aki, Awan ingin naik ke pohon itu. Boleh ya, Ki,” pintaku merengek kala itu pada Ki Jaya.
“Mangga Ujang Kasep... Tetapi ingat ya, Jang, jangan menyakiti daun, ranting dan pohonnya. Pamali,” ujar Ki Jaya.
“Horeee..... Horeee...... Ki Jaya baik.”
Aku memanjat beringin bertuah bak seekor monyet mencari pisang. Sesampainya aku di puncak batang besar tertinggi, aku terlupakan akan suatu hal. Sialnya aku waktu itu. Aku terjatuh.
Gedebuug........ duuaaakh......
“Aaaaahhh.....” seketika itu aku langsung tak sadarkan diri.
======================================================
Ya Tuhan, benarkah itu aku? Tidak, Tuhan. Itu bukan aku. Aku tak sudi. Namun hatiku bergejolak. Batinku berteriak ‘itu memang kau, Wan!’. Aku hilang kendali atas pergulatan memori, hati dan batinku.
“Jika Awan teringat akan suatu hal di masa lalu, itu memang Awan. Aku saksinya.” Bisik Nisa lembut sembari menghampiriku.
Aku mengerjapkan mataku. Ternyata aku yang salah tempo itu. Aku memetik daun-daun sang beringin bertuah dan bahkan hendak mematahkan rantingnya. Di sanakah pamali itu? Aku telah melanggar pamali, itulah yang menyebabkan aku terjatuh. Sejak kejadian itu aku jadi enggan untuk kembali ke sini lagi, ke kampung mbahnya bundaku. Aku membenci Situ Saradan, aku membenci gubuk reot Ki Jaya, aku membenci beringin petuah pembawa sial itu. Bahkan aku nyaris membenci Nisa. Semuanya aku benci. Aku telah menghapus memori masa kecilku di tempat ini dari otakku.
Dengan tiba-tiba, Nisa menggenggam erat tanganku. Dia memohon agar aku bisa mengikutinya ke suatu tempat. Aku mengangguk tanda menurut.to be continued....
by. sii Famysa la..la..la..la..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
hatur nuhun kana kasumpingannana :) mangga bilih aya kalepatan atanapi aya nu bade dicarioskeun sok di dieu tempatna..