Guruku Tidak Pernah Sekolah
Oleh: Syifa Azmy Khoirunnisa
Dialah guru pertamaku, Ibu Ane Widiastuti. Dia bukan guruku di bangku sekolah, bukan pula guru di tempat les atau semacamnya. Lucu nian aku. Bagaimana mungkin aku bisa berkata mengenai tempat les, sedangkan jaman dulu kan belum ada tempat les-lesan apapun. Seandainya saja Tuhan mengizinkanku untuk mengingat kembali masa itu, ah... sungguh kagum aku padanya.
“Bu, aku juga ingin sekolah. Kenapa hanya si akang saja yang boleh sekolah sedangkan aku tidak?” rengek Bu Ane dahulu pada ibunya.
Ibunya menjawab, “Tak usah anak perempuan sekolah. Sudah cukup kau bantu-bantu ibumu ini saja di sawah dan mengurus adik-adikmu yang banyak itu. Percuma jika kau sekolah, Ne. Perempuan jika sudah bersuami kelak ujung-ujungnya pasti kembali ke dapur. Mengerti kamu, Ne?!”
“Ane ingin sekolah juga, Bu. Ane ingin menjadi anak pintar.”
“Tidak perlu,” ketus ibunya.
Bu Ane tertunduk lesu seketika. Wajahnya cukup untuk memperlihatkan bahwa dia sungguh kecewa sedalam-dalamnya. Mungkin hal serupa akan terjadi pula padaku jika aku hidup di jaman Bu Ane. Beruntung aku adalah generasi penerus dari Bu Ane, bukan dari ibunya Bu Ane yang merupakan nenekku.
Entah apa yang akan dilakukan Bu Ane pagi itu. Dia berjingkat mengikuti akangnya pergi. Ternyata tujuan akhirnya adalah di SD Muhammadiyah. Diam-diam Bu Ane mengintip dari balik jendela kelas. Matanya tak pernah lepas dari papan tulis dan penjelasan sang guru. Bu Ane mengikuti apa yang diajarkan sang guru. Dia berbicara seorang diri, dia kadang tersenyum gembira, kadang terlihat seperti orang bingung, begitulah yang dia lakukan di balik jendela kelas yang lumayan tinggi untuk anak umur tujuh tahun.
Mengintip si akang sekolah rupanya telah menjadi rutinitas Bu Ane. Hingga akhirnya membuahkan hasil. Bu Ane sekarang sudah bisa membaca dan menulis. Namun ada satu pelajaran yang selalu membuat Bu Ane penasaran. Menghitung. Saking penasarannya, setiap angka yang dilihat oleh Bu Ane bisa saja menarik perhatiannya untuk dihitung-hitung. Mulai dari penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, hingga bentuk-bentuk rumit lainnya dia operasikan sendiri.
Kutukan nenekku terhadap Bu Ane ternyata memang menjadi kenyataan. Kini Bu Ane hanyalah seorang wanita yang tak lebih dari seorang pelayan bagi suami dan baby sitter bagi anak-anaknya.
“Teh, lihat ini. Aku tak mengerti soal yang ini, Teh. Bantu aku mengerjakannya dong,” rengek Siti, adikku yang paling bungsu kepadaku.
“Itu tugasmu dan itu urusanmu. Selesaikan semuanya sendiri,” Gertakku. Kupikir adikku tidak bisa melihat situasi dan kondisi. Sudah tentu dia pasti tahu bahwa aku juga sedang pusing mengerjakan tugas sekolahku. Kenapa mesti ditambah pusing dengan tugasnya. Aku kesal.
Namun kulihat kemudian apa yang dilakukan ibuku. Dia malah merapek Siti bahkan menghampirinya.
“Siti, sini biar Ibu yang mengajarkanmu menjawab soal itu.”
Aaahh ibuku memang bisa saja. Walaupun aku tak suka dengan pembelaannya terhadap Siti, tetapi kuakui ibuku memang bukan hanya sekedar cerdas, dia pun bijak dalam bertindak.
Aku masuk ke kamar. Entah itu karena marah pada Siti, atau karena malu ternyata ada malaikat cantik yang membela Siti. Tanpa kusadari, di balik pintu kamar aku melakukan kebiasaan ibuku dahulu. Ya! Mengintip. Kuintip Siti dan ibuku. Kulihat Siti tersenyum berbunga-bunga karena dia akhirnya bisa memecahkan soal matematika dari gurunya. Aku heran mengapa ibuku bisa sepandai itu. Aku saja mungkin perlu membuka-buka buku dulu untuk memecahkannya. Hmmm......
Seperti biasa, setiap pagi ibu tak pernah absen membuatkan sarapan untukku dan kedua adikku sebelum kami berangkat sekolah. Ibu tahu bahwa hari ini adalah hari penentuan untukku. Aku harus memilih salah satu Perguruan Tinggi Negeri atau aku tidak akan memiliki kesempatan mengetuk pintu Perguruan Tinggi Negeri lagi, setidaknya untuk tahun ini. Ibu membiarkan adik-adikku berangkat duluan, sedangkan aku ditahannya.
“Mau memilih sekolah mana Kau, Na?”
“Tidak, Bu. Hana mau kerja saja. Hana jadi TKW ke Arab saja ya, Bu. Gajinya besar, Bu. Pasti cukup deh untuk membiayai hidup Siti dan Osan ke depan,” jawabku dengan penuh semangat.
“Ibu tidak melihat kejujuran dari matamu, Na. Jujurlah Kau, Na. Ibu tahu Kau sangat ingin menggantikan peran Bapakmu yang telah tiada. Tapi sungguh Ibu tahu bahwa kau ingin menjadi seorang guru.”
“Tidak, Bu,” aku memaksakan diri untuk tetap tersenyum walaupun dalam hati ingin menangis.
“Pilihlah salah satu, Na. Kalau Kau bingung minta usulan pada gurumu. Jangan Kau tanya usulan Ibu karena Ibu tidak mengerti. Ibu janji Ibu pasti akan membiayai sekolah anak-anak Ibu walaupun entah untuk biaya makan sehari-hari akan Ibu dapatkan dari mana. Pergilah, Na.”
Ibu membuat hatiku remuk-redam. Aku sangat bingung, entah apa yang akan kuisi di atas selembar formulir ini. Tiba-tiba wali kelas yang sedang mondar-mandir menghampiriku.
“Hana kenapa kamu diam saja? Ayo cepat isi formulirnya. Atau apakah kamu sedang kebingungan, Na?”
“Iya, Bu,” jawabku tak bersemangat.
Dan sepertinya Ibu Wali Kelas tidak memedulikan ekspresi wajahku. Dia lantas berkata, “Menurut Ibu, Hana berbakat di bidang bahasa. Nilai rapormu catur wulan kemarin juga yang tertinggi adalah nilai bahasa Indonesia. Bagaimana jika kamu ke IKIP saja, ambil jurusan bahasa Indonesia.”
Aku menurut saja pada usulan wali kelas. Tanpa pikir panjang lagi kutulis dengan huruf besar, HANA ROHANA, IKIP BANDUNG, JURUSAN BAHASA INDONESIA.
Langsung kulupakan apa yang kutulis barusan. Aku tidak terlalu berharap akan hal itu. Aku menyadari bahwa aku tidak akan mampu. Andai ibuku mengerti, aku hanya ingin bekerja agar dapat membantu meringankan beban ibuku.
---0---
“Hanaaaa.........” panggil ibuku. Sepertinya dia kegirangan. Apakah dia memenangkan lotre? Ah tetapi mana mungkin ibuku ikut-ikutan pasang lotre.
“Iya, Buuu.... Sebentar Hana membilas cucian dulu,” aku membalas panggilan ibuku yang setengah berteriak itu.
“Hana, selamat ya, Na. Ibu ikut senang mendengar berita baik ini.”
Aku keheranan. Berita baik apa yang dimaksud ibuku? “Berita apa, Bu?”
“Sebentar lagi Hana, anak Ibu akan menjadi guru bahasa Indonesia,” senyumnya begitu lebar ketika mengatakan ini padaku. “Tenang saja, Na. Biar Ibu yang memikirkan biayanya. Yang terpenting Kau sekolah saja yang benar. Buat Ibumu ini bangga padamu, Na.”
Aku lemas mendengar kata-kata ibu. Aku tahu batin ibu pasti terhimpit beban yang amat berat. Ibu memang aneh.
---0---
Aku akan selalu mengingat masa-masa itu. Ketika hari wisudaku, aku mengabari ibuku yang berada nun jauh di kampung sana dengan sepucuk surat. Kuberitahukan padanya bahwa aku ditempatkan dinas di Bandung Barat, di sebuah SMP Negeri. Aku menangis terharu. Apa jadinya aku jika dulu aku bersikukuh ingin menjadi TKW saja. Aku tidak akan pernah mendapatkan semua kebahagiaan ini. Kebahagiaan karena aku bisa menggapai cita-citaku yang selalu kusembunyikan dari semua orang.
Hari ini aku bisa melihat indahnya dunia. Semua ini berkat ibuku. Aku menemukan pendamping hidup yang amat menyayangiku. Hidup bersamanya dan kedua putriku cukup bisa membuatku tersenyum sepanjang hari. Kedua putriku cerdas. Seperti ada sosok ibuku di dalam diri mereka.
Kemarin sepulang dari Wisma Haji Karawang mengantar adikku, Siti beserta suami, kusempatkan untuk mengunjungi pusara ibuku. Kupanjatkan doa untuknya. Sempat juga kutengok kamarnya, sepi..... Hanya foto berbingkai coklat tua yang membalas tangisku dengan senyum.
Terima kasih Bu Ane, guru pertamaku, ibuku.....
Semarang, 10 April 2011
by. sii Famysa lagi bahagia :))
keren hiks hiks *terharu*
BalasHapusnuhuuuun pisaaan....
BalasHapusitu kisah mamah n nenek gw.. tapi dilebayisasi. :D
Wow, bagus ceritanya. Selamat sudah menang.. Hadiahnya apa nih? Bagi-bagi dong hehe.
BalasHapusSalam kenal :)
aduh terima kasih nih atas pujiannya. :DD
BalasHapushadiahnya rasa seneng aja.. ga ada hadiah khusus. hhe
lam kenal juga :)