tanggal 25 dan 26 September lalu, aku, Kak Adi, Kak Wawan, dan Mbak Silvi berkesempatan untuk menghadiri diskusi penyusunan naskah media dan NSPK (Nilai, Standar, Prosedur, Kriteria *CMIIW) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. acaranya bertempat di Hotel Santika Semarang. kami hadir di acara tersebut mewakili organisasi Forum Lingkar Pena (FLP) Semarang.
agenda hari pertama adalah pemaparan dan diskusi tentang Rencana Naskah Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis Media 2012-2015. dan agenda hari kedua adalah pemaparan dan diskusi tentang NSPK Ekonomi Kreatif Berbasis Media. ada 6 objek yang dibahas di dalamnya, yaitu komik, film animasi, karya fiksi dan nonfiksi, karya kreatif iklan, serta karya audio dan karya video.
di seminar kit yang kudapat, aku tidak menemukan apa itu NSPK, singkatan apakah itu. kutanya Kak Adi, katanya NSPK itu Nilai Standar Prosedur Kriteria. tapi sepertinya Kak Adi juga kurang mantap menjawabnya. makanya CMIIW ya, maaf bangeet :P
inti dari acara tersebut bertujuan untuk membuat kebijakan baru mengenai naskah media. berhubung Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga merupakan kementerian baru, makanya diadakan diskusi seperti ini dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) agar aspirasi kami dapat tersalurkan. oh ya, pemangku kepentingan yang dimaksud di sini adalah para pekerja seni. banyak sekali undangan yang hadir dari berbagai komunitas pekerja seni. seperti kami dari FLP (fiksi & nonfiksi), lainnya ada dari Alegori (periklanan), Histeria (konsultan komunitas), fotografer, pembuat film animasi, dll.
ada beberapa diskusi menarik dari beberapa undangan yang hadir, akan kurangkum sedikit di sini. siap menyimak yaa?? agak tegang soalnya nih. hehehe *lebay
kita sebagai pekerja seni tidak melulu membutuhkan kreativitas, tetapi kita juga butuh ekonomis. mengapa kreasi yang kita ciptakan tidak dijadikan lahan bisnis agar menghasilkan 'uang'? kemudian ada yang menimpali pendapat tersebut seperti ini, yakini saja visi kita dalam berkarya sudah benar. jika memang sudah benar, maka sisi ekonomis pun akan mengikuti. hmm... bapak yang menimpali pendapat tersebut sepertinya agak beraliran Jabariyah deh. qonaah banget. hehe.. padahal bukannya segala sesuatu harus diusahakan dulu? sebelum tawakal, manusia kan wajib berikhtiar dan berdoa dulu. ikhtiar di sini bisa jadi dengan cara lebih pandai mencari peluang yang bisa menghasilkan sisi ekonomis. tidak hanya terus berkarya dan meyakini bahwa visi kita sudah benar, tapi kita juga harus aktif mencari peluang dan kesempatan agar kita bisa maju. well, sebenarnya aku kurang paham dan kurang berpengalaman dalam hal diskusi dalam forum formal -sangat formal- seperti itu. makanya aku hanya bisa diam dan menyaksikan. :D
seni VS birokrasi, akhirnya pekerja seni Indonesia lebih banyak melirik LSM luar yang lebih banyak peduli pada seniman Indonesia. pekerja seni Indonesia merasa ditelantarkan oleh pemerintah. tahu sendiri lah bagaimana birokrasi di Indonesia. berbelit-belit dan harus melalui banyak meja, bahkan banyak gedung. repot bukan? mungkin ini yang menjadi salah satu alasan mengapa pekerja seni Indonesia kurang terdengar eksistensinya. seharusnya pemerintah bisa memfasilitasi kita. memfasilitasi kan tidak hanya dengan uang, tapi bisa juga dengan ruang. and then, can we?
data/arsip kesenian budaya dan pekerja seni terkadang diabaikan, padahal data ini bisa menjadi investasi bangsa. misalnya ada pihak luar yang menginginkan data tersebut untuk suatu kepentingan yang baik, maka kita bisa memberikan data dengan tidak cuma-cuma. tentu saja ada imbalannya, baik berupa uang, sarana promosi, pertukaran data, dan lain sebagainya. waah... menarik ya? :D kalau suatu hari aku diminta untuk mengumpulkan data ini dalam bentuk fiksi atau nonfiksi, aku mau deeh... apalagi kalau ada 'tidak cuma-cuma'nya itu. hihihi... kan lumayan.. daripada lumanyun mulu :P
menu vegan ala Syifa :D |
bicara tentang hak cipta di Indonesia sepertinya agak risih. boro-boro yang belum mempunyai hak cipta, yang sudah memiliki hak cipta pun masih dibajak seenaknya. buku difotokopi, CD dibajak, mau lagu atau film baru carinya di situs download gratis. hadeehh --" dan sepertinya saya juga sering melakukan praktek pelanggaran hak cipta tersebut. ampuuun :O untuk mengatasi hal ini, ada undangan yang menyarankan agar hak cipta dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan formal. mungkin bentuknya bisa menjadi satu pelajaran/mata kuliah khusus, atau diselipkan di pelajaran/mata kuliah lain. ide bagus tuh.. hanya yang perlu diperhatikan adalah follow up dan aplikasinya. tidak melulu disuarakan di dalam kelas, tapi juga harus disertai dengan aksi nyata.
foto bareng peserta lain, dari perwakilan organisasi/komunitas yang berbeda pula |
ketidaknyamanan pekerja seni di tempat wisata yang akan dijadikan lokasi dalam karya mereka. misalnya untuk pemotretan, pameran seni, pembuatan film, dll. menurut salah satu undangan, harga sewa tempat wisata/budaya di Semarang (baca sambil diraba-raba: l*wa*g *e*u) sangat mahal. mungkin mahal atau murah itu relatif ya.. bagi sebagian orang, bisa saja harga sewa sejumlah itu tergolong murah. tapi bagi sebagian orang lainnya, harga sewa sejumlah itu sangat mahal. lantas kenapa tidak dibuat murah menurut ukuran kalangan menengah ke bawah saja. kan jadi bisa terjangkau oleh semua kalangan tuh. atau tetapkan saja diskriminasi harga seperti untuk pengunjung lokal dan pengunjung dari luar negeri. hmm... lalu undangan lain (wakil dari Dinas Pariwisata Kota Semarang) berpendapat bahwa mengenai harga, akan mereka komunikasikan lagi dengan pihak pemilik tempat wisata/budaya tersebut. semoga berhasil ya :)
menu vegan ala Syifa juga :D |
regulasi perpajakan film indie (independen) jangan disamakan dengan mainstream. jika harga diseragamkan, maka dikhawatirkan produsen/pekerja seni film indie akan gulung tikar. padahal film indie dan mainstream jelas berbeda (padahal aku sendiri yo ndak tau opo bedonya). kemudian pembahas menanggapi dengan memberi saran, mungkin film indie bisa mencari sponsor atau mengikuti lomba-lomba yang diadakan pemerintah, dengan begitu film indie tersebut akan terfasilitasi.
terakhir, ada hal yang lucu. perbedaan persepsi antara Kak Adi dan pembahas mengenai skenario. pembahas keukeuh bahwa skenario tidak masuk ke ranah fiksi. skenario adalah proses lanjutan dari fiksi, tetapi tidak dapat digolongkan ke dalam fiksi. padahal kata Kak Adi, skenario juga seharusnya masuk ke fiksi loh, di dalam fiksi juga kan ada drama. nah loh.. jadi piye? :D
Kak Wawan remang-remang :D |
ketika berada di meja makan dan berbincang-bincang mengenai diskusi yang sudah kami lewati, aku menangkap ada suatu ketidakpercayaan pada pemerintah. "jangan sampai diskusi tadi cuma dijadikan formalitas saja, padahal sebenarnya mereka (pemerintah) sudah punya rencana sendiri. percuma saja kita berpendapat tetapi pendapat kita tidak ditampung ke dalam kebijakan tersebut. diskusinya sama saja bohong." hmm... entahlah... no comment. orang Indonesia kebanyakan di-PHP-in (baca: Pemberi Harapan Palsu) sama pemerintah sih ya. jadinya ya suudzon mulu deh. hehe...
pengalaman yang kudapat kali itu sangat-sangat berharga. aku jadi tahu secuil dari proses pembuatan kebijakan. ternyata memang tidak mudah. sejatinya kebijakan memang tidak mungkin bisa sesuai dengan keinginan semua orang. pasti ada pro dan kontra, pasti ada masalah di dalamnya. entah itu dalam perumusan, pelaksanaan, maupun evaluasinya.
jadi policy maker memang sesuatu deh :) insya Allah itu akan menjadi pekerjaanku kelak. ahahaa... aamiiin...
note: diskusi ini diadakan di 4 kota besar; Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya
note: diskusi ini diadakan di 4 kota besar; Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya
by. si Famysa, calon pembuat kebijakan yang adil :)
Setiap Kebijakan Ada PRO dan KONTRA menurut saya betul.
BalasHapusTergantung yang menanggapinya juga sih :D
yup, saya setuju :)
BalasHapuskasian juga ya nasib pekerja seni Indonesia kurang diperhatikan sama pemerintah, ga care sama rakyatnya. Tapi malah orang luar yang respect sama seniman Indonesia
BalasHapushmmm kalau bajak membajak emg paling keren di Indonesia...
BalasHapustpi bner jg sih, seniman skrg kok terkesan di cuekin gtu ya,,hhmm
kalau data2 n arsip budaya di Riau bnyak tempat khusus untuk menyimpannya loh,,hhe :D
@Bayu: yaa gitu deh. prihatin -.-
BalasHapus@Iva: waah keren dong Riau. semarang mah belum bisa gitu :O
haha begitulah indonesia, soal ngebajak itu paling cepet. mau gimana lg. followback sob
BalasHapusJujur baru tau ini gue..Satu Ilmu lagi ku dapatkan...Nice
BalasHapus@Yoga: mau berubah gag jadi pembajak lagi dong :D
BalasHapuskayaknya aku udah follow kamu :)
@Ahmad: samaa :D makasih :)
Liputan yang amat keren Syifa. Tapi - maaf. diposting via HP ya? Antar paragraf nempel banget hehehe.
BalasHapusTtg hak cipta ... habis gimana dung ... harga kaset/DVD asli buat sebagian besar masyarakat Indonesia (termasuk Syifa dan saya *ngaku*) masih kerasa mahal. COba dimurahin ya ... kan bisa kere tuh para pembajak ...
Syifa menyimak diskusi ini dengan sangat baik lho. Sy suka membaca liputannya.
4 jempol buat tulisan ini :)
di komputer kok tante.. emang dari sononya gini kali jarak antarparagrafnya. hehe
BalasHapusngakuu... ahahaa... iya tuh mahaal, mau ke bioskop juga mahaal :O setuju tuuh saran tante :D
makasih tantee :)
apa sih yang gak bisa dibajak diindonesia ya :)
BalasHapusiya bener banget tante :D
BalasHapus