"Dosen memiliki hak prerogatif yang bahkan malaikat pun tidak dapat mengintervensi", ujar salah satu dosen kuliahku beberapa tahun silam.
Andai dalam dunia bisnis pelaku bisnis juga memiliki hak prerogatif seperti dosen ya.. Hmm.. Tapi nyatanya, dunia bisnis sangat rentan intervensi dari sana-sini. Seperti yang sedang kualami saat ini.
Aku memang memulai bisnis Sakola Printing dari ide mamahku, bukan dari ideku sendiri. Aku merasa tertantang karena mamah bercerita ingin memulai usaha percetakan tapi terkendala modal minimal 30 juta. Aku greget. Kupikir untuk apa uang sebanyak itu? Bukannya mamah sudah pernah mengalami kegagalan demi kegagalan karena memodali bisnis orang puluhan bahkan ratusan juta. Kenapa mamah masih berpikir bahwa memulai bisnis harus selalu dengan modal besar? Apa mamah tidak bisa belajar dari pengalamannya? Gampangnya, apa mamah tidak pernah melakukan evaluasi?
Sebagai seorang anak, tentu saja aku geram. Sebegitu mudahnya mamah sepakat dengan orang itu -bisnis-modal-besar-gede-gedean-lalu-apa?-mau-dibawa-bangkrut-lagi?-terus-kemana-tuh-modalnya?-hilang!
Padahal mamah mengajarkanku untuk anti berhutang, anti jual-jual aset keluarga untuk memodali bisnisku. Tapi kenapa pada orang itu mamah gampang sekali mengeluarkan modal, walau entah darimana asalnya modal itu, pinjam ke bank potong gaji terus, mungkin.
Sejak mendengar cerita mamah dan aku geram, sejak saat itu pula aku bertekad, aku akan mewujudkan keinginan mamah, aku akan merealisasikan rencana usaha mamah yang terkendala modal. Dan alhamdulillah, sekarang Sakola Printing sudah dapat dirasakan kehadirannya oleh mamah. Sepertinya mamah pun senang.
Lalu, di tengah adem-ayemnya Sakola Printing, di tengah semangat membara pemuda-pemudi pemilik Sakola Printing, datang orang itu. Dia bercerita bla-bla-bla dari A sampai Z, yang intinya dia juga ingin memiliki usaha seperti ini. Kupikir itu hanya sebatas cerita, sekedar obrolan basa-basi untuk memotivasi kami anak-anak muda. Hingga suatu hari, orang itu menawarkan kamera profesional pinjaman dari temannya. Katanya pakai saja, anggap saja punya sendiri. Oke, aku senang bukan main. Dapat pinjaman kamera second yang masih muluusss, bahkan shutter countnya masih dibawah 500.
Suatu hari, entah bermula dari apa, orang itu mengajak kami belanja perlengkapan kami ke Bandung. Aku sudah tak enak hati. Dan benar saja, sesuai prediksiku, orang itu membelikan kami dua barang untuk Sakola Printing. Katanya sudah gak apa-apa, itu mah ngasih, gak usah dibayar, kayak ke siapa saja.
Sekarang hatiku semakin gak karuan. Sebagai satu-satunya owner perempuan Sakola Printing, tentu lah aku yang paling peka dan sensitif perasaannya. Orang itu seolah ingin memiliki Sakola Printing. Padahal ini usaha bersama, usahaku dengan teman-temanku, bukan hanya dengan suamiku. Aku ingin membesarkan Sakola Printing layaknya bisnis profesional, bukan bisnis kampungan yang levelnya warung klontongan. Ini bukan usaha keluarga. Ini usaha kerja sama profesional.
Ada-ada saja pikiran piciknya. Orang itu menyarankan kami untuk mencari job lain yang order keluar, dan keuntungannya jangan dimasukkan ke Sakola. Astaga... Kalau tidak ingat tujuan utamaku berbisnis, pasti lah aku sudah tergiur dengan ide piciknya.
Aku sempat membicarakan hal ini pada bibi sekaligus mentor bisnisku. Kata bibi, "Kita bisnis bukan semata mencari uang. Kita bisnis juga harus tetap punya moral dan etika bisnis. Orang picik mungkin akan cepat kaya, tapi tidak akan berkah. Itu lah sebabnya kenapa orang picik banyak yang bangkrut, karena sewaktu bisnis juga dia bermain curang pada rekan bisnisnya sendiri."
Sampai detik ini, aku merasa seolah di sini ada dua perusahaan serupa, satu induknya, satu anaknya yang ingin menginduk tapi juga ingin menyeruduk induknya. Apa maksudnya? Orang itu minta dibuatkan kartu nama dengan nama Sakola Printing? Orang itu berbicara seolah dia memilikinya?
Aku yang melahirkannya, aku yang membesarkannya. Siapa saja yang berani mengambil anakku dariku, silakan, langkahi dulu mayatku!
NB: Sakola Printing tidak akan menerima pemberian apapun secara cuma-cuma lagi dari siapapun. Sakola Printing sudah punya kamera profesional sendiri. Dan aku pribadi mau cuek bebek sama apapun ide dari orang itu.
by. si Famysa, angry.
Waahh ayah saya juga bisnis percetakan kak, usaha sendiri di rumah kecil-kecilan. Ayah selalu ingin merdeka dengan usahanya sendiri :D
BalasHapusSukses terus yaahh kak usahanya :)
waah kenapa ga ikutan bisnis ayah aja put? ihh ga usah panggil kakak, aku juga baru pensiun jadi mahasiswa kali sama kayak kamu :D
HapusApasih sakola printing itu....?
BalasHapususaha percetakanku om..
Hapusada ya orang kay agitu mau memanfaatkan orang lain
BalasHapusiya tante, ada :(
HapusJaman sekarang memang harus hati-hati ya Jeng. Ada saja akal bulus manusia.
BalasHapusSemoga bisnisnya lancar jaya dan barokah. Amin
Salam hangat dari Surabaya
iya pakde.. makasih yaa :)
HapusHalus banget mainnya. Untungnya, keluargamu udah pernah ada masalah dengan orang itu, jadi bisa lebih hati-hati.
BalasHapusSemangat ya! semoga lebih sukses bisnis percetakannya ;)
iya mba, halusss banget.
Hapusaamiin... makasih mba :*