Oleh: Anah Rohanah dan Syifa Azmy Khoirunnisa
“Nih, kapan sih kamu diwisudanya? Mamah sudah tak sabar ingin melihatmu jadi insinyur. Sudah delapan tahun Mamah biayai kamu kuliah, gak kelar-kelar.”
“Aku janji deh, Mah, akhir tahun ini aku wisuda,” janjinya dengan nada ragu.
“Benar, loh.. tuh, anak tetangga sebelah Timur yang usianya beda lima tahun denganmu, sudah mau selesai kuliahnya, katanya tinggal satu semester lagi.
“Jangan bandingkan aku dengan dia dong, Mah. Dia kan lain jurusan denganku. Dia jurusan hukum, sedangkan aku teknik. Jelas jauh bedanya, dong, Mah. Aku kan mau jadi insinyur seperti keinginan Mamah,” ia membela diri.
“Iya, keinginan Mamah, emangnya kamu mau jadi apa? kalau Mamahmu saja seorang bidan, ayahmu insinyur. Mamah rela mati-matian menyekolahkan kamu tanpa dibantu siapa pun, ayah tirimu kan punya tanggungan tiga adikmu. Mamah kerja untuk kamu, kamu satu-satunya harapan Mamah, karena kamu anak Mamah yang paling cerdas, adik-adikmu tak bisa diharapkan. Mungkin karena kalian lain ayah, jadi kalian sangat beda, kamu pintar seperti ayahmu!” panjang lebar sang ibu mencurahkan harapannya pada si sulung kebanggaannya.
"Tenang saja deh, Mah… O, ya, aku berangkat dulu ya, Mah. Tuh…. Ada pasien, mau nambahin tabungan Mamah tuh….” Lalu ia pergi setelah mendapat bekal lumayan dari sang ibu.
Selanjutnya sang ibu sibuk dengan urusan pasien. Tanya sana, periksa sini, lalu ia menjelaskan,
”Positif, lima mingguan, Neng.”
“Kami belum siap… Bagaimana bisa dikeluarkan tidak, Bu?” wanita muda itu memelas dengan wajah pucat dan lesu.
“Bisa saja… Sudah siap biayanya?” sang pasien hanya mengangguk, ketika sang bidan menyodorkan sederet tulisan, “Ini biaya semuanya sampai kontrol sesudahnya.”
“Baiklah, Bu. Lakukan apa yang bisa Ibu lakukan,” tanggap si lelaki.
Sang bidan hanya tersenyum tipis tanda puas dengan transaksi yang akan dilangsungkan.
Hari lain, seorang lelaki tergopoh-gopoh mendatangi sang bidan.
“Permisi, Bu, bisakah Ibu menolong istri saya, ia mau melahirkan, ia sudah tidak kuat berjalan… Sudah kelihatan kepalanya, Bu….”
“Kenapa tidak dibawa saja ke sini, Pak? Kalau mau melahirkan itu dari tadi siap-siap, saya tidak bisa datang ke rumah Bapak, pasien saya di sini juga banyak, bagaimana kalau ada pasien datang… Saya tidak di tempat, bisa kabur pasien-pasien saya….” dengan tegas ia menolak permintaan lelaki itu, dan tetap menolak meski lelaki itu memohon, kecuali pasiennya dibawa ke tempatnya.
“Tapi, Bu... Ini darurat. Kasihan istri saya, Bu. Dia tidak akan kuat untuk dibawa ke sini. Kumohon, Bu,” rintih calon bapak itu di depan sang bidan.
Dengan sombongnya, sambil kedua tangan dilingkarkan di dada, sang bidan bekata, “Berani bayar berapa Anda?”
Lelaki di depannya tak sadar kalau ternyata dia telah menangis. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia langsung berbalik badan dan pergi. Sementara sang bidan masih terpaku di tempatnya tadi.
Beberapa saat seperginya lelaki tadi, terdengar derit rem mobil, lalu berhenti di depan rumah sang bidan. Seorang wanita muda berperut agak besar digandeng lelaki paruh baya masuk ruang prakteknya, batinnya bersorak.
“Tuh… Kan, apa kubilang… Pasienku lumayan, gak usah keluar, pasien datang sendiri, coba kalau tadi aku pergi….” Gumamnya seorang diri. Ia lalu bergegas menyambut calon pasiennya yang kelihatannya berkantong tebal.
"Kami dengar Ibu dapat membantu urusan ini,” kata wanita muda itu sambil menunjuk perutnya dan mengibaskan tangannya.
“Dengan senang hati, saya akan bantu… Asal Tuan dan Nyonya sanggup….”
“Jangan khawatir… Kami sudah siapkan….” mereka menyepakati sesuatu. Lalu wanita itu diajak ke sebuah ruangan khusus, yang pasti, nanti saat keluar dari tempat itu, si wanita telah kempis perutnya tanpa menggendong bayi.
Waktu terus bergulir, tak pernah berhenti bertugas. Tampaklah wajah-wajah semakin mengguratkan garis-garis di dahi, di pipi, di bawah kelopak mata, dan di garis senyum sekitar bibir. Tiga orang adik telah berumah tangga dengan tenang, meski hanya berbekal pendidikan biasa, tak setinggi si sulung. Sang ibu telah menjadi nenek dari enam cucunya. Meski sudah pensiun sebagai PNS, sang bidan masih tetap berpraktek, malah lebih leluasa waktunya tanpa diganggu urusan dinas.
“Mah, mana uangnya, aku mau nyari angin nih… Suntuk di rumah terus,” si sulung merajuk, seperti biasanya.
“Uri, Uri… kamu ini… Masih saja minta uang ke Mamah, kapan kamu memberi uang ke Mamah, dari kecil, sekolah, kuliah, urusan perempuan… Selalu minta ke Mamah… Kerja apa kek, buka usaha apa kek… Kamu kan insinyur… Masa, tak ada perusahaan yang menerima kamu kerja…? Kamu ini… Katanya mau bisnis, malah bisnis perempuan, ya habis modalnya… Coba kamu cari perempuan itu yang bener, yang bisa dijadikan istri biar Mamah punya cucu dari kamu… Emang kamu tidak ngiri lihat adik-adikmu bahagia berkeluarga?” sang ibu berusaha menyadarkan anaknya.
“Aku lebih suka begini, Mah… Perempuan banyak di jalan… Cari istri susah! Emang ada perempuan yang mau pada lelaki nganggur….” berkelit ia membela diri.
“Ya, kamu usaha… Kamu kira Mamah senang lihat kamu begitu. Uang emang ada, mau berapa juga kamu… Tapi, malu dong… Masa insinyur nganggur saja,” sang ibu prihatin.
“Mah, gak ada yang sanggup menggajiku dengan pantas, Mah… Masa, dibanding sama uang saku dari Mamah saja, gak sampe setengahmya, mana cukup… Udah gitu masa posisiku cuma gituan… Emang Mamah tega lihat aku cuma gitu, aku kan insinyur, otakku lumayan, mereka gak bisa menghargai banget, jadi ogah cari kerja... Lagi pula, kerja itu untuk mencari uang kan, Mah. Tapi aku tahu uang Mamah sudah terlalu banyak. Mungkin tak akan habis-habis jika hanya untukku. Lantas untuk apa juga aku bekerja. Bukankah lebih baik aku cukup menikmati semua yang ada?” kembali ia berdalih, lebih enak diberi rupanya, daripada ‘sekedar’ berfikir untuk memberi pada ibunya yang sudah mulai renta.
“Ya, sudah… Berapa yang kamu perlukan sekarang?” sang ibu mengalah juga, sudah capai rupanya ia berdebat dan berdebat dengan putra kesayangannya, dari dulu juga tetap saja begitu jawabannya.
Sempat beberapa kali air mata sang ibu mengucur menangisi ‘anak kesayangannya’. Kadang kala dia berfikir, apakah dia salah jika mengharapkan sesuatu dari anaknya yang merupakan keinginan pribadinya? Mungkin juga itu semacam obsesi karena di masa lalu dia pernah kehilangan sosok itu. Ya, sosok itu adalah suaminya yang dulu, yang kini telah menjadi ‘mantan’...
“Aku sangat ingin punya anak jadi insinyur -seperti ayahnya- mantan suamiku…. Aku mati-matian cari uang demi dia… Untuk dia, kuberikan segalanya, lebih daripada adik-adiknya, tapi aku hanya bisa menjadikannya seorang insinyur… Insinyur yang memang hanya sebatas insinyur. Tak lebih dari itu… Bahkan, harapan punya cucu darinya pun belum juga tercapai… Perempuan banyak di jalanan, katanya… Sesungguhnya aku sakit mendengarnya. Pernah beberapa kali ia membawa perempuan muda ke sini. Kukira aku akan segera mendapat menantu lagi, tapi ia hanya memintaku membuang janin di rahim perempuan itu, ‘aku hanya mau bersenang-senang saja, bukan mau menikahinya… Untuk apa ibuku menjadi seorang bidan jika aku tak bisa memanfaatkan itu, Bu.’ itulah jawabannya…” batin sang ibu sambil terus memandangi punggung si sulung yang segera menghilang masuk ke mobil, mencari angin, mencari hiburan, mencari perempuan, bersenang-senang dengan botol-botol minuman beralkohol, berjudi… Dan… Entah apa lagi, dia tak dapat berbuat banyak selain memberi dan memberi berapa pun dana yang dibutuhkan ‘putra kesayangannya’ itu, itulah julukan buat si sulung, menurut anak-anaknya yang lain.
Cipunagara, Juli 2006
Finishing Yogyakarta, 13 Mei 2011
arrgh pengen tak jitak tuh anak. ibunya meninggal sengsara deh, tapi ibunya juga gg bisa tegas sih ==a
BalasHapuskereeennn....nice imagination...hahaha...atauuu..pengalaman pribadi jadi anak sedikit bandek nih syif..??haahahaha...
BalasHapuskeep writing...tulisanmu bagus,,dan aku suka template barumu...^^
@Tiara: tenang.. tenang cuuy... it's just fiction :D ambil hikmahnya aja ;)
BalasHapus@Kak Nick: eitss bukan kak.. aku gag segitunya. wuhuu ngeri donk kayak tokoh di atas mah. 100% fiksi kok kak. hhee
siap bozz! ;) makasii.. makasiii :D