postingan hari ini berdasarkan pertemuan FLP Tembalang Sabtu, 26 Maret 2011 pukul 09.00 s.d 12.00 WIB.
agenda hari ini adalah membuat konsep untuk proyek novel detektif kita ke depan, membaca cerpen Di Sini, Hujan Turun Deras Sekali... (siapa penulisnya aku lupa. *maaf*), membaca cerpen Senyum?? karya Kak Adisaputra Nazhar, ketua kita, bincang-bincang seputar karya sastra, dll.
ternyata membuat karya sastra itu tak semudah membalikkan telapak tangan. butuh pikiran seorang filsup, analogi yang sesuai, dan metafora yang ngeuh gitu.. waduh, kalau bukan karena aku cinta sastra Indonesia, sudah mundur aku mendengar sebegitu ribetnya.
seperti seorang Salman (tokoh dalam novel Detektif Salman yang pernah aku baca), yang hobinya mengamati perilaku orang sekitarnya, dan dapat menyimpulkan suatu hal tentang apa yang diamatinya, seperti itulah contoh gampangnya dari kegiatan berfilosofi. apa yang ada di sekitar kitapun dapat kita analogikan ke dalam karya sastra kita (novel, cerpen, puisi). contohnya angin, senja, malam, hujan dll dapat kita bandingkan dengan makhluk hidup atau kita sebagai lakon dalam sebuah cerita. dalam karya sastra juga tak lupa harus mengandung metafora yang dahsyat. maksudnya metafora yaitu arti terdalam dalam setiap goresan pena yang tertuang ke dalam kertas. atau bisa juga bermakna amanah yang terkandung di dalamnya.
karya sastra (cerpen) yang baik seharusnya bisa fokus pada cerita, judul dan metafora apa yang ingin disampaikan penulis. isi dan judul pun harus sesuai, agar pembaca bisa memaknai metafora dengan kembali lagi kepada judul. jangan terlalu mengurai peristiwa lain yang tidak mendukung isi cerita atau judul cerpen kita. kita diajarkan agar bisa fokus dan menghemat kalimat, karena ini adalah cerpen, bukan novel.
sebenarnya suatu karya sastra murni jika diterjemahkan ke dalam sastra populer (dengan bahasa gaul, ringan) hanya akan menjadi satu cerita yang garing, *ih cerita apa sih ini?? (contohnya). namun ternyata karya sastra murni akan membangun pola pikir kita. seperti dalam sebuah pernyataan "bangsa yang hebat (besar) terlihat dari budaya membacanya". itulah maksudnya sastra murni. dia ingin mengajak kita berpikir, mengurai makna dan mencari ilmu. bukan hanya sekedar setelah membaca, tahu ceritanya begini-begitu, lalu sudah, selesai begitu saja tanpa mendapat sesuatu yang berharga.
tidak ada pendapat yang benar atau salah dalam mengkritisi sebuah karya sastra. karena semuanya kembali lagi kepada penafsiran pembaca dan nilai estetika terhadap sebuah karya sastra yang dimilikinya. semakin tinggi nilai estetikanya, dia pasti dapat menangkap lebih banyak keindahan dalam satu karya sastra saja. sebaliknya, semakin rendah nilai estetikanya (atau mungkin pembacanya bukan seorang penikmat sastra), dia hanya akan dapat menangkap jalan cerita yang tersurat, tetapi tidak bisa menemukan arti yang tersirat.
seorang penulis memang mempunyai gaya masing-masing dalam menorehkan tintanya. tetapi ingat, penulis tetap harus fokus dan pesan yang terkandung harus bisa tersampaikan kepada pembaca.
sebenarnya suatu karya sastra murni jika diterjemahkan ke dalam sastra populer (dengan bahasa gaul, ringan) hanya akan menjadi satu cerita yang garing, *ih cerita apa sih ini?? (contohnya). namun ternyata karya sastra murni akan membangun pola pikir kita. seperti dalam sebuah pernyataan "bangsa yang hebat (besar) terlihat dari budaya membacanya". itulah maksudnya sastra murni. dia ingin mengajak kita berpikir, mengurai makna dan mencari ilmu. bukan hanya sekedar setelah membaca, tahu ceritanya begini-begitu, lalu sudah, selesai begitu saja tanpa mendapat sesuatu yang berharga.
tidak ada pendapat yang benar atau salah dalam mengkritisi sebuah karya sastra. karena semuanya kembali lagi kepada penafsiran pembaca dan nilai estetika terhadap sebuah karya sastra yang dimilikinya. semakin tinggi nilai estetikanya, dia pasti dapat menangkap lebih banyak keindahan dalam satu karya sastra saja. sebaliknya, semakin rendah nilai estetikanya (atau mungkin pembacanya bukan seorang penikmat sastra), dia hanya akan dapat menangkap jalan cerita yang tersurat, tetapi tidak bisa menemukan arti yang tersirat.
seorang penulis memang mempunyai gaya masing-masing dalam menorehkan tintanya. tetapi ingat, penulis tetap harus fokus dan pesan yang terkandung harus bisa tersampaikan kepada pembaca.
sastra mengandung nilai-nilai abadi yang tidak akan mati walau digerus peradaban.
heiiiii ... kau tidak mengajak aku :(
BalasHapusmau ikut mah hayu.. da gw juga ilegal pan gag ikutan oprecna tea duluu.. tapi jgn betean, da kegiatanna teh jauh sperti yg sdang kau inginkan skarang(ex. nari, japanese, drum, piano, ksenian jawa, aerobik, dll yg lbih ke jingkrak2. :D)
BalasHapushihihi, gw maunya banyak ya hhahha pengen ketawa
BalasHapus